10 Juni 2015

Mengunjungi Ayah

Aku sedang duduk bermalas-malasan di teras samping rumah, duduk di lantai menyender ke dinding, ditemani dengan segelas besar jus mangga buatanku sendiri yang baru saja selesai kublender, mangga yang kudapat dari si pemilik rindu sebenarnya, kemarin saat kami membunuh jarak memotong jauh untuk temu sesaat, dia berikan padaku, oleh-oleh katanya. Kutambahkan beberapa pecahan es ke dalam gelas berwana kehitaman yang terbuat dari bahan seng itu juga agar dingin dan menyejukan. Siang ini memang cukup panas, walau sedaritadi matahari tidak pernah terlihat karena tertutup awan, tapi angin yang berhembus seperti membawa serta nafas matahari. Semenjak mendekati bulan puasa, cuaca memang menjadi lebih panas dari biasanya.

Tidak tahu ada suara apa yang memanggilku untuk bersantai duduk di teras siang ini, tapi pertama kalinya kulakukan, aku merasa sepertinya ada keasikan yang entah, menatap langit, langit yang sama dengan langitmu, berharap kau sedang memperhatikan awan juga disela kesibukanmu, Rahmi. Lalu mengenang kebahagiaan kita adalah kegiatan yang sedang sering-seringnya kulakukan.

Lamunan tentangmu tersadar seketika, Rahmi, saat mataku menangkap dua burung kecil entah apa namanya, sedang bermain di atas pohon kantil, melompat dari tangkai yang satu ke tangkai lainnya, berkicau, seperti mereka sedang sangat berbahagia. Tebakanku, mereka itu sepasang kekasih, Rahmi. Yang suaranya lebih nyaring dan berbadan lebih besar pasti jantan, dan gerakannya
juga lebih lincah. Aku terfokus memperhatikan mereka kini, ada kesenangan yang lain yang belum pernah kudapat dari memperhatikan burung-burung, sebab kali ini berbeda, kali ini sepasang kekasih burung.


Ah, dimabuk asmara memang membuat dimabuk kepayang.

Burung yang betina terbang ke atap rumahku, Rahmi, lalu dengan sigap yang jantan mengejar tak mau kehilangan, tidak rela berpisah dengan kekasihnya walau sedetik, memang begitu cinta, fikirku. Aku tersenyum. Lalu entah merasa risih sebab kuperhatikan daritadi, burung yang betina berkicau mengajak yang jantan pergi, mencari tempat yang lebih privasi. Tanpa aba-aba mereka terbang bersama, hilang dari pandanganku, Rahmi.

Di halaman depan rumah memang tumbuh beberapa pohon Kantil, Rahmi, punya tetangga, bunga-bunganya untuk dijual ke pasar, katanya. Pagi hari saat pemilik tumbuhan itu akan memetik, bunganya akan mengeluarkan wangi yang sangat, menyebar keseluruh tempat yang bisa dilalui udara, dihembus angin membawa harum sampai ke indra penciuman. Kau tahu, Rahmi? Wangi kantil itu menenangkan. Kupetik satu untukmu nanti.

Jus mangga di tanganku tinggal setengah gelas, tapi perutku sudah penuh, lemas. Kubawa masuk sisanya, kuminum nanti saja saat malam tiba.

Saat masuk ke dalam rumah, aku ikut masuk dalam percakapan Ibu dan Kakak, Ibu bilang sore nanti kami akan mengunjungi Ayah, kami semua maksudnya. Sebab sudah beberapa puluh tahun Ayah tidak ikut tinggal bersama lagi, dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kami juga akan mengunjungi Ayah. Tentu aku mau, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Juga tentangmu, Rahmi.

Biarpun Ayah kini tidak tinggal bersama kami lagi, tapi Ayah juga tidak jauh dari rumah, kapan saja kami bisa mengunjunginya, hanya berjarak lima menit saja, tapi sekali setahun untuk kami semua bisa berkunjung bersama. Berkumpul lagi.
Ayah adalah pria yang spesial, makanya ia diberikan tempat khusus lebih cepat.

Ibu menghentikan langkah tepat di depan pintu, dan memilih memutar tujuan langkahnya untuk sejenak berkunjung ke pedagang bunga yang ada di sekitaran sebelum berkunjung ke tempat Ayah. Tentu Ibu akan membawa bunga saat akan bertemu dengan Ayah, kekasihnya. Sama halnya dengan pasangan kekasih lain, yang menikah ataupun yang baru berpacaran. Membahagiakan pasangan adalah kebahagiaan bagi Ibu. Aku ikut berhenti, memperhatikan dua Abangku yang sudah masuk lebih dulu, dan di arah sebaliknya menunggu Ibu juga Kakak dan tiga keponakan sedang asik tertawa merasa senang bahkan hanya dengan melihat pedagang bunga. Bagaimana dengan Ayah yang akan diberikan bunga oleh Ibu, tentu Ayah akan senang. Aku pun turut senang. Kusambut Ibu yang sedang mengarah padaku, meletakkan tangannya di pinggangku, mengisyaratkan agar aku ikut masuk bersamanya. Aku malu tangan Ibu ada di pinggangku, sebab aku sudah merasa terlalu besar untuk diperlakukan begitu olehnya. Tapi aku tahu, aku selalu bahagia bila dimanja, maka kubiarkan tangan itu tetap disana, malah kudekatkan badanku pada Ibu. Lebih kuat dirangkulnya. Kami melangkah bersama, aku samakan langkah agar seirama, kulihat Ibu tersenyum, aku tertawa.

Kulihat kedua Abangku sedang
sibuk membersihkan tempat Ayah, dari ranting dan dedaunan kering, dari apa saja yang mengganggu dan membuat tempat Ayah terlihat kotor. Kami ikut bergabung, Ibu langsung mengambil tempat. Aku tahu, dalam hatinya Ibu sedang berbicara pada Ayah, mengungkapkan betapa banyak rindunya, begitu banyak bahkan lebih banyak dari batu kerikil yang ada di dalam sepanjang sungai tepat di sekitaran tempat Ayah. Atau lebih banyak dari jumlah dedaunan dari tiap pohon yang bergoyang dihembus angin di sekeliling tempat Ayah. Aku tahu, begitu banyaknya, aku tahu dari mata Ibu yang mulai berkaca tidak bisa menahan rindu.

Aku tahu bagaimana rasanya rindu itu, Rahmi. Walau tidak sama, tapi aku tahu.

Dengan terisak, Ibu mulai membacakan doa-doa, air matanya terus jatuh tak dipedulikan lagi, Rahmi, ia biarkan, semata agar kami tahu bagaimana rasanya bagi Ibu. Ada haru yang ikut pecah pada kami semua bersamaan dengan doa-doa yang dipanjatkan, ikut pula hujan yang semakin deras turun dari mata Ibu, menciptakan sungai kecil yang mengalir di pipinya. Katanya, Ibu mendadak sangat merindukan Ayah saat melihatku, Rahmi. Apa karena aku mirip Ayah? Seperti katamu.

Selesai menghadiahkan doa-doa, aku ceritakan kau pada Ayah, Rahmiku. Tempat asalmu, nama lengkapmu, juga bagaimana caraku merindukanmu, Rinduku. Aku senang telah menceritakan kau padanya, semoga Ayah pun senang, kau pun senang, Rahmi.

Tahu tidak, Rahmi? Saat akan memberikan bunga yang Ibu beli tadi, aku yang diberikan kesempatan pertama. Entah kenapa, Ibu bilang aku yang pertama. Dasar perempuan, susah sekali dimengerti.

Ada lega yang dirasakan Ibu, aku tahu, setelah berpamitan dan meninggalkan Ayah, Ibu menggenggam tanganku, hujan itu mereda, ada pelangi yang muncul setelahnya. Ku genggam lagi tangan Ibu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar