1 Juni 2015

Negeri Ingatan




Hari ini, hari minggu yang muram, sejak tadi langit terus saja berwarna gelap kehitaman, seperti sudut-sudut jalanan di malam yang kelam tanpa lampu penerangan yang pecah dan mati.

Langit sedang kesal, pada jarak, pada rindunya, pada temu yang tak kunjung tiba, pada tidurnya yang sering terganggu, pada telepon genggamnya yang mudah sekali kehabisan baterai, pada dirinya sendiri yang mudah sekali kesal pada siapa saja dan apa saja yang mengesalkan. Terutama pada jarak yang membuat ada jauh yang sangat antara hujan dan sang kekasih. Bagaimana tidak, hari minggu yang seharusnya dihabiskan bersama pemilik rindunya, membuatnya melupakan sejenak hiruk-pikuk kesibukan segala macam kepenatan di hari-hari sebelumnya, membahagiakannya, menghilangkan semua lelah di pundak dan telapak kakinya, menggenggam tangannya dengan kuat agar dia merasa segalanya akan baik-baik saja, harus menemui sudut jalan yang buntu, gelap, bernama Jarak.

Hujan sedang turun dengan deras di kotaku saat tulisan ini kuketik melalui papanketik di laptop yang sedari tadi berada di atas meja, darinya pula sumber suara dengan melodi yang tersusun indah perpaduan suara gitar elektrik, bass, drum, dan juga suara serak seorang lelaki yang berteriak lantang namun tidak jelas apa ucapannya, yang aku tahu, aku menikmatinya sejak pertama kunyalakan. Bersamaan dengan butiran air yang jatuh dari langit berpercik saat terhempas ke teras rumah dan menyisakan bintik-bintik di jendela, ikut membawa kembali ingatan-ingatan yang meminta dihidupkan kembali.

Hujan dan kenangan, entah ada apa dengan mereka berdua, selalu saja datang disaat bersamaan. Sepaket. Merepotkan. Lalu disaat itu pula aku harus kembali mengunjungi Negeri Ingatan yang jauh berada di masalalu, hanya di Negeri Ingatan aku bisa mengulang setiap ingatan, namun tetap tidak bisa merubah kenyataan.
Hanya orang-orang yang sedang atau pernah mencintai Hujan saja yang bisa datang ke Negeri Ingatan.
Aku harus menembus langit melewati hujan, menghindar dari tiap sambaran petir yang mencoba menghentikan, kadang sesekali aku harus meminjam awan kinton agar aku bisa melaju dengan kecepatan kilat menyelinap di antara awan-awan, untuk mengobrak-abrik tempat itu mencari sebuah kenangan yang coba kuulang lagi. Sebuah ingatan tentang kemarin, tentang ingatan malam tadi.

Tapi selalu saja ada yang menjaga Negeri Ingatan, seorang pria tua, seorang dewa juga seorang raja, malah pria tua itu adalah raja para dewa. Namanya Zeus, aku tahu saat pertama
kali kami bertemu, pria tinggi besar itu selalu menyebutkan namanya pada siapa saja yang datang. Zeus selalu berada di sana dihari tuanya, menunggu lawan, menyalurkan hobi, bermain catur. Siapa saja yang ingin masuk Negeri Ingatan harus lebih dulu melawannya dalam peperangan di papan catur. Namun dia adalah pria yang baik hati, sering kali aku kalah melawannya bermain, tapi dia tetap mengizinkan aku masuk, tapi tidak hari ini, sebab dalam pertarungan yang entah keberapa sekarang, aku yang menang. Zeus kaget, sebab aku ada kemajuan dalam bermain catur. Zeus kembali menunggu lawan saat aku berjalan masuk Negeri Ingatan, rambutnya yang keriting sebahu bergoyang dihembus angin.

Negeri Ingatan adalah tempat berkumpulnya semua masalalu, segala ingatan, khayalan, dan angan-angan. Negeri ini berada antara Awan dan Hujan, hanya ada saat kedua unsur itu bersamaan. Negeri Ingatan merupakan sebuah pulau di langit, melayang, terbang, tidak ada penghuni tetap di pulau ini, hanya ada siapa saja yang datang berkunjung, mencari sebuah ingatan, dan mengulang. Pulau itu seperti sebuah lapangan, hanya ada tanah luas tanpa pohon, rumput, hewan. Ada sebuah bangunan kokoh di tengah, merupakan museum, tempat semua ingatan pulang.

Kucari apa yang menjadi tujuanku kemari, saat tempat itu setengah berantakan, akhirnya aku menemukan sebuah ingatan, ingatan tentang kemarin, tentang ingatan malam tadi.

Kumulai mengulang ingatan itu dari siang hari...

Tengah hari sekitar jam 12 siang setelah lelah tertidur seharian, akhirnya aku bangun. Hari ini sabtu, tanggal 30 Mei, ini hariku. Sisa kebahagiaan tadi malam masih terasa siang ini, juga ada sesal dan kesal menempel di tiap kebahagiaan itu, aku coba membersihkan semua sekaligus, beserta daki-daki dan kotoran di gigi, aku mandi. Setelah selesai, aku mendapati diriku sedang sangat kaget, bersamaan dengan datangnya sebuah paket, sudah ada di mejaku, entah sejak kapan, entah dari siapa, entah pun siapa yang menerimanya tadi saat diantar kurir. Kulihat paket itu dengan terburu-buru tanpa sempat memakai baju lebih dulu, nama pengirimnya “Mevrouw” sebuah senyum lahir di bibirku detik itu juga, lahir dengan operasi sesar sebab ukurannya sangat besar, juga dengan kadar senang yang berat. Senyumku itu gemuk.
 Aku terlihat sangat bahagia pasti, bagaimana tidak, nama itu sangat sering kulihat, hampir setiap hari, pengirimnya seorang perempuan yang lama kutunggu, bersamaan dengan itu rasa kecewa ikut muncul, sebab kau tidak ada bersama dengan kebahagiaan ini, Rinduku. Banyak sekali darimu yang pantas dirindukan, Rahmi, senyum itu misalnya. Aku adalah seekor semut yang sangat mengagumi senyum itu, senyum itu bagai lautan gula yang disana aku rela tenggelam dan mati, jika mati pun, aku akan mati dengan berbahagia.

Lalu apa salahnya?

Apa lagi yang aku harapkan?

Aku lebih memilih mendapat sekali saja kebahagiaan yang benar-benar membuatku bahagia, setia pada kebahagiaan itu lalu mati bersamanya, daripada hidup beratus tahun dan selalu mencari kebahagiaan ke setiap hati yang kutemui.

Kubuka paket yang berbentuk kotak itu, perlahan dan rapi tanpa merusak bungkusnya, aku terlalu senang, bahkan bungkusnya ingin kusimpan. Kertas berwarna dasar putih dengan banyak gambar sapi di keseluruhan kertas itu. Ada sapi yang tersenyum, juga ada yang dengan wajah serius dan tatapan mata melotot. Aku tahu kau sangat suka minum susu, itu sebabnya pilihanmu adalah kertas dengan banyak gambar sapi. Apa benar tebakanku, Rahmi?
Ada sebuah surat dalam kotak itu, juga beribu bahkan berjuta benang yang terangkai terjahit rapi. Lirikan mataku langsung menuju kertas yang terlipat, aku penasaran pada isi surat. Kau lipat dengan tidak biasa surat itu, sayang, aku suka caramu melipatnya. Kubuka perlahan, aku takut rusak dan koyak. Kubaca penuh hikmat, kau menulis kata “kangen” sebanyak tiga kali dalam keseluruhan isi surat yang berjumlah dua lembar, dengan tiba-tiba rinduku berlipat ganda, beribu lembar. Aku puas dengan rindumu. Ada delapan gambar balon dan satu kue juga dalam suratmu, aku suka pemilihan jumlah dan caramu menggambarnya, Rahmi. Kuciumi dan kupeluk dengan sangat suratmu, detik itu pula rinduku beserta aku yang satunya terbang dengan kecepatan cahaya menuju kotamu, memelukmu tanpa kau sadar, namun kau tahu, selalu ada aku tiap kali kau rindu, di hati dan fikiranmu. Juga ada aku selalu disini yang merindu dan menunggguimu.

Senja turun dengan cepat ini hari, aku tak sempat melihat langit yang terbakar berwarna jingga kemerah-merahan, tanpa aku sadar malam telah merenggut pagi, dan sang gelap membunuh matahari.

Malam ini kuputuskan untuk bermain bersama teman-teman satu lingkungan tempat tinggalku saja, teman-temanku sedari kecil, aku sadar aku sempat mengecewakan dan meninggalkan mereka, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman baru yang aku temukan di lingkungan lain. Walau sebenarnya teman-teman baruku juga telah mengajak aku bermain bersama mereka, tapi aku pilih teman lama. Kami pergi ke sebuah coffee shop tempat kami sering berkumpul, tempat yang nyaman dan penuh keakraban, seluruh pegawainya sudah mengenal kami, jadi kami fikir buat apa cari tempat lain. Malam ini kami ramai, tidak seperti biasanya hanya empat atau lima orang saja, malam ini kami bersembilan. Aku tidak curiga, kufikir biasa sebab ini hari minggu.

Meja tiba-tiba bergetar, getaran itu dari telepon genggamku, ada panggilan masuk, pemilik rinduku yang menelepon, aku tahu sebab ada wajah yang kurindukan itu muncul sebagai penanda. Aku girang, buru-buru kutinggalkan temanku. Melalui suara kami hendak membunuh jarak. Kusampaikan padanya masih tentang keluh rindu-rinduku yang rusuh, sebagai pemilik yang baik, kau menenangkan mereka semua, Rahmi, rindu itu patuh pada perintahmu.

Saat aku kembali, terdengar lagu dari band Zamrud diputar dengan kencang, terdengar jelas, ada lilin-lilin dengan nyala api di atas sebuah kue, seorang temanku sedang memeganginya daritadi, seluruh orang yang ada di situ saat itu ikut merayakan, mereka tertawa, ikut bernyanyi, sebagian lagi membuat suara-suara gaduh yang membuat suasana riuh. Pegawai tempat itu yang memutar lagunya atas permintaan seorang teman. Aku terkejut, pasti, perasaan itu aneh, aku senang tapi aku malu, aku malu tapi aku ingin terus, aku seharusnya tidak suka dibuat begini, tapi aku senang mereka melakukannya. Aku menghargai, mereka mengingat hari ini, hari ini hariku. Aku senang, aku bersama mereka malam ini, aku senang, aku memilih bersama mereka malam ini, aku senang, aku tidak mengecewakan mereka lagi.

Kemudian bersama seorang temanku yang lain, kami bermain catur, dia seorang pemain catur yang baik, susah untuk membuatnya tersudut dan kalah, namun bukan berarti aku tidak bisa, hanya saja susah. Setelah melewati kesusahan itu, akhirnya aku menang melawannya.

Itulah alasan kenapa aku bisa menang melawan Zeus dalam peperangan di papan catur tadi.

... dan begitulah ingatan itu berakhir..

Aku menemukan diriku sedang duduk di depan laptop saat aku kembali pada kenyataan, saat aku sadar, hujan sudar pergi, berhenti, reda. Suara pria yang terus berteriak dengan kata-kata tidak jelas itu masih terdengar, kumatikan suara itu bersamaan dengan kututup laptopku.

Semua ingatan itu tersimpan indah di Negeri Ingatan, menunggu untuk diulang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar