30 Mei 2015

Tentang Aku




Aku terlalu aneh untuk menjadi orang yang aneh, mungkin pula terlalu seperti kebanyakan untuk menjadi berbeda, dan hanya satu-satunya, sebab setiap orang selalu menganggap diri mereka berbeda dari orang-orang lain, lalu tanpa disadari, dengan begitu setiap orang malah menjadi sama saja seperti yang lainnya, termasuk aku, tapi aku tahu ada yang aneh denganku.


Terakhir kali kulihat ke arah jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi, itu tadi, saat pertama kali kuputuskan untuk tidur. Kini setengah jam sudah aku berputar-putar seperti marmut di dalam roda yang diputarnya sendiri tepat di tempat dimana aku biasa tidur. Menunggu lelah, lalu berhenti, menyerah. Aku harus bersusah payah, melawan, entah melawan apa, seperti sesuatu yang terus bergerak di dalam fikiranku, menjaga otak tetap bekerja seperti biasa dan mata memanas setiap kali terpejam, pedas. Otakku seperti bekerja diluar kendaliku, atau otakku punya otak untuk berfikir sendiri tanpa perintah dari tuannya. Tapi hal itu hanya terjadi setiap kali ingin tidur.

Keanehan itu ternyata masih terus berlanjut, kini merambah padamu, Kekasih. Entah kenapa setiap kali aku mengeluh soal tidurku yang tidak semudah menutup mata, jawabanmu selalu menenangkan

“itu karena sugesti diri sendiri, sayang”

Lalu di tanganmu, tidurku datang lebih awal dari bertahun-tahun sebelumnya. Kata-katamu terbukti. Sepertinya tanganmu terbuat dari bantal paling empuk sejagat raya, yang hingga mengelilingi dunia pun tidak akan menemukan penjualnya. Ada keanehan pada tanganmu, tanganmu aneh, sayang.

Pada tiap tidurku yang paling nyenyak sekalipun biasanya aku tetap bisa mendengar suara-suara, sekecil apapun sebatas masih bisa didengar telinga manusia. Suara anak-anak yang berisik saat dibangunkan, suara langkah kaki tetangga yang akan pergi bekerja, suara abang sebelah saat menyalakan motornya, suara percakapan anak-anak ketika berangkat sekolah, suara gaduh abang beradik saat berebutan kamar mandi, suara kicau burung pagi hari. Lalu pada saat seperti ini mataku akan mendadak terang, kantuk yang tadi teramat sangat akan hilang, sebab seberapa lamapun kupejamkan lagi, mata ini biasanya tidak akan tertidur lagi. Akan aku mulai hariku bukan dengan bangun pagi, melainkan terbangun terlalu pagi, dan pilihan terbaik adalah mendengarkan suara-suara yang aku sukai. Atau kadang saat kusapa kau lewat pesan yang bisa kukirim cepat, sayang, dengan perintahmu aku bisa tertidur beberapa jam lagi.

Aku suka mendengarkan lagu, suara musik, suara tv yang menyala walau tidak ada yang menonton, kadang suara nyala tv tetangga, suara drum yang dipukul, suara kicau burung tadi, aku suka. Terlebih dari semua suara, entah kenapa aku paling suka suaramu, Rahmi, melalui media apapun atau mendengarnya langsung, aku tidak tahu mana yang lebih aku suka. Atau kupilih saja keduanya. Kau tahu apalagi yang aku sukai, Rahmi? Menyimpan suaramu. Di fikiran, ingatan, juga di telepon genggamku, kuputar kembali berulang-ulang, terus hingga saat pemutar suara itu kumatikan pun aku tetap bisa mendengar suara indah itu.

Pagi ini hari jumat, sehari lagi adalah hari dengan tanggal 30 Mei, hari yang
paling kuingat seingatku, alasannya karena hari ini aku lahir, dulu. Hari yang paling kuingat namun tidak berharap siapapun akan mengingat, seperti setiap tahun sebelumnya, sebab aku tidak suka orang-orang akan mengingatkan aku setiap tahun umurku bertambah menuju habis. Tapi pagi ini ada yang membuatku gugup sedikit penasaran, ada yang kutunggu hingga gelap nanti saat malam akan berganti hari, entah kenapa aku berharap kekasihku akan mengingat tanggal itu, walau aku sebenarnya sangat ingat kalau aku tidak perlu berharap apa-apa maka aku tidak harus kecewa apa-apa. Tapi aku akan sangat suka jika kesayanganku mengingatnya. Sebab selalu ada pengecualian di dunia yang sekarang ini, Rahmi.



Hari semakin gelap saat senja akhirnya tiba, warnanya memerah di sudut-sudut langit, aku yakin di kotamu, Rinduku, senja akan sangat indah, saat jingga itu menembus batas antara langit dan laut, ada burung-burung beterbangan menuju terang  dan menjadi siluet, menunggu untuk hilang perlahan ditelan malam. Pasir pantai itu akan terlihat berkilauan emas, semakin indah lagi saat jejak kaki kita akan terlukis dengan menakjubkannya ketika berlarian sambil tertawa, bahagia. Meski akhirnya aku harus menyadarkan diriku sendiri, Rahmi, bahwa itu tidak lebih dari mimpi. Namun tidak ada salahnya untuk berharap segala sesuatu yang paling tidak mungkin, karena mungkin saja akan menjadi indah bagi kita berdua kan, Rahmi? Meski kita tidak tahu bagaimana, tapi akan tetap tinggal dan indah dalam kenangan juga ingatan kita.


“Ada begitu banyak kabar dari jauh, tentang ruang dan bumi yang selalu mengeluh” ada begitu banyak pula seandainya, tentang segala hal yang ingin aku lakukan, bisa berpindah-pindah dari kotaku ke kotamu secepat kilat, seandainya.

Malam semakin malam, namun tidak semakin gelap, ada bulan yang bersinar terang. Kita sepakat malam ini kau yang menelpon, saat itu juga kuangkat telponmu, aku sedang tiduran menghadap langit menatap bulan. Saat itu pula aku cemburu pada bulan, Rahmi, aku bisa melihat bulan, bulan juga bisa melihatku, pun kau bisa melihat bulan dan bulan melihatmu, tapi aku tidak, aku tidak bisa melihatmu. Seandainya bulan adalah mata kananku, dimanapun kau, Rahmi, aku akan bisa melihatmu. lalu mata kiriku adalah milikmu.

Setelah kau selesai mendengarkan keluh tentang anak-anak rinduku yang sudah tumbuh besar dan sering membuat gaduh, kita akhiri percakapan jarak jauh yang malah membuat rindu-rindu itu semakin rusuh. Lalu tinggal beberapa jam saja hingga tanggal ini berganti, akankah kau lupa, Rahmi?

Pukul dua belas lebih satu menit, hadiah kecil yang jadi bermakna sangat besar darimu sampai. Sebab jam itu jam tidurmu. Pesan suara yang kau kirimkan tiba di mejaku dengan selamat, bergetar, sebagai penandanya tiba. Aku girang mendengarnya, kau tahu apa yang paling aku suka, kau kirimkan aku suaramu sebagai hadiah. Dimana aku bisa membelinya? Di dalam suaramu terbungkus pula doa-doa, ini lebih dari istimewa.

Niat sekecil apapun patut untuk dihargai, begitu aku mengajarkan diriku sendiri. Terima (ke)kasih, Rahmi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar