Tatiana
tercinta,
Bersama
surat ini aku sisipkan rinduku yang teramat sangat padamu, sangat banyak hingga
aku sendiri saja capek untuk menghitungnya. Kutuliskan nol koma seratus
delapanpuluh dua persen dari rinduku ke tiap huruf di dalam surat ini agar
hatiku tidak penuh sesak dengan anak-anak rindumu. Tatianaku sayang, boleh saja
kau hitung sisanya, tapi jumlahnya akan lebih banyak dari butir pasir di pantai
tempat kau sedang duduk menikmati senja saat ini.
Senja
yang keemasan seperti membakar langit, merona jingga di mana-mana. Aku yakin
senja yang sedang kau pandangi sangat indah, lengkap dengan angin pantai yang
berhembus cukup kencang mengibaskan rambut pirangmu yang panjang sepunggung,
sesekali menutupi mata juga wajahmu, dan kau akan sibuk membereskan rambut itu
kembali ke posisinya. Juga suara ombak dan kepak burung yang membuat senja itu
akan lebih indah lagi. Dalam khayalanku, saat ini kau sedang duduk sangat dekat
ke bibir pantai hingga sapuan ombak selalu membasuh pahamu yang mulus. Akan sangat
menyenangkan berada di sana saat ini. Tapi aku tidak bisa. Tapi Tatiana, aku
yakin mataku akan lebih memilih memandangmu andai saja aku berada di sana tepat
duduk di dekatmu, sangat dekat hingga aku bisa merasakan wangi tubuhmu yang
basah dan sedikit lengket, ada pasir di sekujur tubuh indahmu.
Tatiana,
senja tidak lebih indah darimu.
Saat
ini sedang hujan di kotaku, tentu aku mengingatmu ketika menulis surat ini,
tapi aku tidak hanya mengingatmu, aku juga mengingat hujan. Bersama surat ini
pula aku ingin menceritakan sebuah hujan padamu Tatiana, hujan yang sangat aku
ingat melebihi apapun yang tinggal di dalam ingatanku. Bahkan kau, sayang. Hujan
ini abadi tinggal dalam ingatan. Hujan itu berbentuk menyerupai seorang
perempuan, memiliki tangan juga kaki, aku sering dan sangat suka menggenggam
tangannya. Aku suka memakai jarinya untuk mengupil, tapi sebanyak apapun kucoba hujan pasti menang dan
melepaskan tangannya dari tanganku. Lalu ketika aku memperlihatkan wajah
kekalahan, dengan tiba-tiba hujan akan menarik lubang hidungku dengan jari-jari
kecilnya untuk membuatku tertawa. Hujan selalu punya caranya sendiri untuk
membawakan senyum di wajahku. Bahkan ketika aku sedang pura-pura diam hujan
akan dengan sengaja mengajakku ke mini market untuk membeli vitamin C lalu
menyuruhku memakannya, katanya aku diam pasti karena sedang sariawan.
Mungkin
sekarang kau sudah mengerti Tatiana, mengapa aku begitu senang ketika hujan
turun, bahkan ketika sedang bersamamu aku lebih memilih menikmati hujan, diam dan
merenung ketimbang menikmati bibir merahmu yang tipis dan lebar dengan hidung
mancung.
Mungkin
kau masih ingat aku pernah bercerita tentang sebuah sore yang sedikit gerimis
padamu. Sore yang kehilangan senja sebab hujan di mana-mana, sore yang menelan
kilau emas matahari dan mengubahnya menjadi mendung yang sendu. Sore itu
Tatiana, sore itu aku bertemu hujan. Sore itu waktu seperti tidak akan pernah
menjadi singkat, seakan sore itu akan selamanya
dan tak pernah berakhir. Seperti seseorang yang sedang jatuh cinta tidak
mengenal akhir untuk berjuang memerdekakan cintanya. Kau tahu betul rasanya
seperti apa Tatiana, kau juga merasakan itu padaku.
Sore
itu aku menatapnya dengan perlahan, perlahan agar aku ingat betul setiap
jengkal dari hujan, kelak suatu hari aku ingin mengingat hujan dan aku akan
mengingatnya dengan sangat baik tanpa melupakan sedikitpun tentang keindahannya.
Helm motorku yang sedari tadi sudah kubuka ketika melihatnya terus saja ku
pegang, ketika itu aku tidak ingin sesuatu apapun menghalangi pandanganku
menikmati hujan. Hujan ini memiliki wajah cantik dengan senyum yang entah apa
menyebutnya. Lebih dari manis. Tatiana jangan marah padaku, bahkan kau sendiri
pun akan setuju dengan perkataanku ketika melihat hujan ini. Senyumnya lebih
dari manis. Aku berani bertaruh kau akan menyukainya. Jika aku menang, aku
harap kau tidak membenciku sebab aku lebih merindukan hujan ketimbang kau. Seratus
delapanpuluh dua kali lipat dari rinduku padamu.
Tatiana
maaf, aku masih saja memikirkan hujan berhari-hari, berminggu-minggu. Aku
merasa bisa saja tidak memikirkannya, tapi otakku tidak mau tau apa yang hatiku
rasakan, otakku bekerja sendiri untuk terus mengulang fikiran-fikiran tentang
hujan dalam kepalaku. Tentu aku menikmati fikiran itu, aku pernah sangat
berbahagia bersama hujan, walau aku masih saja merasa waktu tidak pernah cukup
bagi kami.
Kau
tahu Tatiana? Sore itu hujan juga menangkapku dengan matanya yang sangat indah,
bulat besar dengan lekuk menyerupai daun, dan memenjarakan aku dalam-dalam di dalam
tatapannya. Sore itu adalah penampilanku yang paling ia suka. Hujan bilang padaku
aku sangat ganteng sore itu. Aku masih ingat betul baju yang kupakai, kaos
hitam dan kemeja biru dari luar. Andai saja boleh, aku sangat ingin memakai
baju itu setiap hari, agar hujan senang, dan aku terlihat ganteng terus
menerus. Tapi tidak, hujan selalu protes tiap kali aku memakai baju yang sama. Dasar
hujan!
Hujan
ini Tatiana, adalah hujan yang paling indah dari seluruh hujan yang pernah
kulihat, bukan itu saja, hujan ini lebih indah dari senja yang sedang kau
pandangi. Bahkan juga lebih indah darimu, Tatiana.
Hujan
ini sangat nyaman, seperti sebuah ciuman di kepalaku ketika aku sedang setengah
sadar setengah tertidur yang kemudian membuat tidurku lebih nyanyak dari tidur
seorang bayi. Hujan membuatkan aku sebuah pelangi, membahagiakan aku bagai anak
kecil yang riang ketika hujan reda. Hujan tau betul tentang aku, ia akan turun
ketika aku sedih, bahkan sedih karenamu, Tatiana. Hujanlah yang selalu ada
untukku, bukan kau.
Maaf
Tatiana.
Kalau saja bisa seseorang hidup di masa lalu dan berharap mengulang kembali apa
saja yang ingin diulang tanpa harus memikirkan masa depan, tidak usah khawatir
akan tua, sakit atau pun mati. Tidak pernah merasakan sakit, terluka, dan
kesepian. Aku adalah orang yang pertama kali tinggal di sana.
Maafkan
aku Tatiana, kau tidak perlu membuang-buang waktumu untuk mencintai seseorang
yang lebih memilih tinggal di masa lalu ketimbang hidup dengan kenyataan bersama
denganmu.
Maafkan,
aku lebih mencintai hujan ketimbang kau
Kekasihmu,
Pengagum Hujan