Cinta
diturunkan ke bumi bersamaan dengan turunnya Adam dan Hawa dari surga.
Begitulah
cinta itu bisa ada di bumi ini menyebar hingga ke setiap sudut dunia, tidak
terlewat satu meter pun dari tiap jengkal permukaan tanah. Aku sudah berdiri di
tempat biasa aku berdiri dalam beberapa hari ini, tepat menghadap jendela
memandang luas ke arah pepohonan di luar sana. Umurku baru 5 tahun waktu itu.
Aku sedang mengawasi langit, tiap aku sedang merasa sedih entah kenapa langit
menjadi gelap. Atau entah kenapa tiap langit gelap aku mendadak menjadi sedih.
Entah ada apa dengan kami. Sepertinya langit tau apa yang sedang kurasakan.
Ia
sedang gelap sekarang ini, makanya cepat-cepat aku kembali ke posisiku untuk
memperhatikannya, lalu perasaan itu datang lagi, aku mendadak cengeng dan ingin
menjerit menangis. Aku rasa langit juga sedang memperhatikanku.
“ada
apa denganku?” aku yang satunya bertanya
Tapi
aku menyukai perasaan ini, bukan bahagia tapi aku merasa damai dan tenang, ada
perasaan aman juga sedikit. Aku masih heran. Tidak ada dari salah satu abangku
yang menggangu, atau salah satu kakak perempuanku yang memaksa aku memakai
pakaian perempuan, tapi kenapa aku ingin menangis? Aku harus mendapatkan
jawabannya hari ini. Ada lagi yang aneh, beberapa hari kemarin saat aku juga
sedang memperhatikan langit, tiba-tiba langit itu menangis setelah lama
berwarna hitam. Tanpa aku sadar, pipiku juga ikut basah.
“Tidak
ada atap yang bocor, lalu darimana tetesan air hujan ini?” aku makin
terheran-heran
Banyak
pertanyaan yang ingin kutanya pada orang-orang yang lebih dulu hidup sebelum
aku di keluargaku, tapi aku takut, aku takut nanti mereka ikut memperhatikan
langitku. Langit itu punyaku, langit itu memperhatikanku. Jika harus berebutan
tentang langit sudah jelas aku yang akan paling kalah dibanding kakak dan
abang-abangku. Aku tidak mau langit juga memperhatikan mereka. Aku yang
pertama, cukup aku saja.
Pepohonan
mulai bergoyang, daun-daun melayang beterbangan, angin berhembus kencang.
Kulihat langit semakin gelap, sepertinya langit akan menangis lagi.
Tanda-tandanya sama persis seperti kemarin. Perasaanku semakin tidak karuan.
Aku semakin sedih, tapi rasa penasaranku yang sangat malah membuat aku juga
senang akan peristiwa yang kulihat sebentar lagi ini. Aku juga takut, aku tidak
tahu kenapa, yang aku tahu aku takut. Langit berteriak dari segala arah, ada
cahaya juga menyertai tiap kali langit marah, langit seperti sedang membentak,
sepertinya ia sedang kesal dengan teman-temannya karena kalah main kelereng,
atau ia berkelahi dengan abang yang menjengkelkan. Entahlah, mungkin ia benci
dengan hidupnya.
Mencapai
puncak amarahnya, langit tumpahkan kekesalan dengan menangis. Tetesan
pertamanya jatuh ke jendela tepat di depan wajahku. Perlahan jatuh menggaris
kaca bersamaan dengan arah jari telunjukku. Tidak lama kemudian tetesan yang
lain sampai, jendelaku kini basah. Aku ikut lega.
Perlahan
kurasakan ada yang bergerak di pipi kananku, kuangkat tangan untuk
merasakannya, itu air. Aku rasakan itu air.
“
Apa atapnya bocor lagi?” aku berbisik
Tidak
ada lubang apapun di atas sana saat aku melihat ke atas. Lalu darimana?
Kini
pipi kiriku yang basah. Kulihat bayanganku ke arah jendela yang penuh air, aku
sadar, aku yang menangis. Aku lega.
Kudengar
kakak berteriak di luar sambil mengangkati jemurannya.
Lalu
aku tahu, air itu bernama Hujan. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan cinta.
Ini cinta pertamaku. Aku jatuh cinta. Aku cinta Hujan.
Setelahnya
aku selalu senang tiap kali hujan datang, walau aku turut sedih atau aku
sebenarnya sedang sedih, tapi aku senang hujan turun. Hujan itu kekasihku.
Seperti semua kekasih yang bertemu, selalu ada peluk yang hangat dan cium yang
mesra. Juga kami, kupeluk hangat Hujan dengan telapak tanganku yang menempel di
jendelaku yang dingin. Kuusap embun ditiap kaca itu lalu kucium dengan
sungguh-sungguh. Tidak ada yang lebih mesra dari itu, itu ciumanku. Sesekali
aku keluar rumah, kubiarkan Hujan memilikiku, kupasrahkan diriku padanya, ku
biarkan apapun yang ingin ia lakukan. Aku cinta Hujan.
Aku
beranjak besar, aku tumbuh, juga cintaku pada Hujan. Aku sudah bersekolah kini
dan cinta pada kekasihku makin ngeri. Bukan hanya di jendela rumahku saja kini
kami bertemu, tapi dimana saja. Di jendela sekolah saat aku sedang belajar,
sesekali Hujan meminta temu, ia mudah sekali rindu. Aku sibuk memperhatikan
langit saat yang lain sedang fokus ke sumber suara yang sedari tadi mengoceh di
depan kelas, entah apa yang dikatakannya. Di dalam angkot saat aku sedang
menuju pulang, Hujan juga meminta rindunya kubunuh. Melalui jendela kecil itu
kupeluk Hujan kuat-kuat, agar ia tahu sebagaimana cintaku. Bahkan saat usiaku
memasuki remaja, disaat aku sedang sibuk-sibuknya memperhatikan sebuah wujud
dengan paras yang cantik dengan suara yang lembut, Hujan juga masih sering kali
meminta cintaku.
Suatu
hari, saat aku berumur dua puluh, aku masih mencintai Hujan, pun sama Hujan
masih sangat mencintai aku. Walau disaat yang bersamaan aku juga sedang
mencintai perwujudan lain, hanya saja kali ini dari jenisku, dia manusia juga,
kami sama. Aku sedang mencintai seorang wanita, aku takut Hujan akan cemburu,
tidak kuberitahukan padanya, aku kira aku bisa menyembunyikan perasaan yang
bukan untuk sang Hujan.
Kami
sedang di sebuah resto siang itu, aku dan si wanita tentunya, sebab Hujan tidak
bisa kau ajak makan. Kami bersiap memesan makanan kesukaan masing-masing,
sambil menunggu kami mengobrol. Aku sungguh mencintai wanita di depanku ini,
aku juga mencintai Hujan, aku tahu Hujan mencintaiku, tapi aku tidak tahu kalau
Hujan tidak mencintai wanita yang aku cintai itu. Ini rumit. Tiba-tiba langit
mendadak gelap, tidak ada satu orangpun yang tiba-tiba pula memperhatikan
langit dengan sangat seperti aku. Sepertinya langit meminta perhatianku. Aku
gelisah seorang diri, yang lain menanggapi biasa saja perilaku langit yang akan
menangis itu.
“jangan
hujan, jangan sekarang..” aku berbicara sendiri
Dengan
komando yang tegas, Hujan turun serentak membasahi seluruh daerah yang bisa
dijangkaunya dengan air yang turun begitu banyak. Hujan kali ini sangat deras.
Mungkin ini badai. Hujan sangat sedih. Aku yang membuatnya begitu. Pun begitu
masih kupeluk Hujan dengan penuh sesal berharap ada maaf darinya. Kupegangi
terus jendela yang kini basah, tanpa
kusadari makanan kami telah datang, seleraku mendadak hilang.
“Maaf..”
Sehabis
hujan daerah itu porak poranda, daun dimana-mana, pohon tumbang, perasaan lega
yang selalu kurasaka sehabis hujan juga lenyap. Aku takut. Aku tidak tahu
kenapa, yang aku tahu aku takut. Hujan marah padaku, memang sudah seharusnya,
aku terima. Wanita itu, dia tidak pernah aku temui lagi, seperinya aku tidak
benar-benar mencintainya. Aku lebih memikirkan Hujan. Tapi aku tidak bisa
selalu begini, Hujan bukanlah cinta yang benar buatku, kami dari jenis yang
berbeda, tidak mungkin ada yang akan merestui kami, apalagi menikahkan kami,
tidak mungkin. Aku ihklas Hujan tidak mencintaiku lagi.
“Apa
sebenarnya cinta itu?” kutanya diriku
sendiri
Setelah
hari itu hujan masih sering turun, aku tidak tahu apa hujan masih marah atau
itu masih cintanya padaku. Aku takut untuk menebak. Cintaku setiap harinya
semakin memudar untuk Hujan, mungkin Hujan juga rasakan yang sama. Meski begitu
masih sering kutatap langit dari jendelaku, memperhatikannya, meski tidak
sesenang dulu rasanya. Masih kupeluk Hujan untuk terakhir kalinya hari itu,
sebagai salam perpisahan antara kami, sebab dengan cara itu pula kami dulu
bertemu.
Sekarang
ini, aku sedang duduk di depan meja menatap laptopku, sambil memikirkan seorang
perempuan yang sedang memikirkanku jauh disana, aku sedang menulis, aku menulis
cerita ini. Perempuan yang aku fikirkan itu, dia kekasihku, namanya Rahmi. Aku
mencintainya, cintaku kali ini benar-benar benar. Aku bertemu dengannya setahun
yang lalu, dan dari ceritanya aku tahu kalau kekasihku ini juga pernah menjadi
pengagum Hujan. Sama sepertiku. Lalu aku teringat dengan Hujanku yang dulu,
tapi aku tidak lagi mencintai Hujan, kini aku sedang sangat dan akan terus
dengan sangat mencintai perempuan yang pernah jadi pengagum sang Hujan, Rahmiku.
Sesekali
pernah kulihat Hujan itu, masih dengan perilaku dan tingkah yang sama, namun
kini dengan perasaan yang tidak lagi sama. Mungkin ada pengagumnya yang lain
yang membuatnya marah, entahlah. Mungkin aku tidak satu-satunya, tapi Aku
Pernah Mencintai Hujan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar