Pagi tadi adalah pagi ternyenyak juga
terlelah aku rasakan selama bulan puasa yang sudah beberapa hari berjalan.
Biasanya selalu ada bapak-bapak atau anak remaja masjid yang sedari pukul 3
pagi sudah berteriak “Sahuur” “Sahuur” diselingi canda dan tawa kecil sesekali membantu
membangunkan orang-orang sekitar masjid yang harus melawan diri sendiri dari
malas dan tidur pulas untuk bangun di pagi buta seperti selayaknya, lalu
bergegas sahur makan hingga puas, terutama aku. Tapi entah karena lelah tadi
malam yang berpencar menyeluruh ke setiap daging di bawah kulit dari badanku
ini, sebab sehabis pulang menyibukkan diri bekerja, aku melanjutkan kesibukan
lagi bersama teman berbuka puasa bersama, lalu terus bersama-sama hingga pukul
12 malam, kemudian pulangku pun dengan keadaan super lelah dan ngantuk yang
wah. Kali ini berbeda, suara teriakan dari masjid tidak lagi bisa kudengar,
atau apapun, bahkan alarm yang biasa selalu berbunyi setiap pukul 4 pagi. Aku
terbius oleh siluman mimpi, aku tidak sadarkan diri, ketika aku terbangun,
matahari sudah tinggi, burung-burung sedang bernyanyi, entah pun sedang meledek
aku yang sedang bingung sendiri.
Kemana semua orang? Kenapa tidak ada yang
begitu memperdulikan aku, pria yang sedang dilanda rindu dan ditinggal sang
kekasih ini. Oiya, Rahmi, kau pun entah kemana, membiarkan aku sendiri tidak
sahur lalu harus berpuasa dari pagi kemudian mandi dan pergi, bekerja dengan
membawa serta lapar juga rindu yang aku pun tidak tahu mana yang lebih menyiksa
saat ini. Begitu kira-kira diriku berbicara dengan rasa kesal dan sesal.
Saat kesadaran yang sedang kukumpulkan mulai
kembali, kuambil telepon genggam yang hanya diam di sebelahku. Aku kaget dengan
apa yang kulihat, 8 panggilan tidak terjawab darimu Rahmi, aku merasa
berdosa telah berfikir yang entah-entah padamu kekasih, disaat yang sama aku pula merasa senang yang teramat
atas usaha dan kepedulian yang sangat. Pukul 4 tadi kau coba membangunkan aku,
membangunkan aku seperti biasa, seperti kemarin saat tiba-tiba suara nada
dering dari telepon genggam yang selalu kuletakkan disebelah tempat
tidurku berbunyi keras, membangunkan aku dari mimpi yang bercampur dari satu
cerita ke cerita lainnya. Bahkan kadang abangku yang tidur di sebelah juga ikut
terbangun tapi kemudian tertidur lagi. Namamu yang muncul di layar telepon
genggam itu, kau menelpon untuk membangunkan aku sahur, baiknya kau Rahmi,
semoga kau selalu diberi kebahagiaan yang tidak sudah-sudah, dan semoga lagi
akulah alasan bahagiamu.
Mataku langsung menyala, terang seperti lampu
stadion, ngantukku buru-buru hilang saat melihat namamu dan foto lucu itu
muncul, kau tahu sayang, aku selalu gembira bersemangat tiap kali menerima
telepon yang berasal darimu, seperti teleponan kita pertama kali, masih sama tidak
pernah berubah. Kita sempatkan membahas beberapa hal ringan pagi buta itu,
sekadar menjaga kehangatan dari subuh yang sedang dingin. Ketika merasa
cukup, lebih tepatnya ketika kau sudah sangat ngantuk lagi, sebab tidurmu yang
tetap nyenyak itu harus kau tunda karena aku alasannya, kita akhiri panggilan
masuk itu, walau aku masih ingin berlama-lama sebenarnya. Kututup panggilan itu
dengan beberapa kata sayang.
Ternyata delapan kali kau coba menahan sabar,
menahan kantuk, juga godaan untuk tidur lagi yang hanya dalam hitungan detik
saja. Tapi posisiku masih menang kedudukannya ternyata, terima kasih atas itu.
Tapi kenapa aku begitu tidak tahu diri membiarkan kau sayang, harus bersusah payah
melawan kantuk? Aku heran. Kucari tahu sebabnya sampai harus mengingat kembali
beberapa kejadian semalam. Apa aku begitu lelahnya? Apa tidurku senyenyak itu? Atau
malam itu begitu menyenangkan sampai membuat lupa segalanya? Ah, bukan itu. Aku
selalu terbangun setiap ada bunyi yang cukup untuk memecah hening. Lalu apa?
Ketika coba kucari tahu lagi, aku kaget menemukan penyebabnya, ternyata telepon
genggamku dalam mode silent atau diam. Pantas saja, sebab ditelepon seribu kali
pun tidak akan terdengar suara apa-apa. Sialan! Kenapa bisa aku membiarkan
telepon ini dalam mode silent? Aku memaksa otakku mengingat kembali, aku
benar-benar bersusah payah untuk itu sebab aku memang pelupa, maaf untuk
kekuranganku itu, Rahmi.
Kemarin, sehabis kuangkat telepon darimu
sayang, subuh itu aku tidur lagi, aku terbangun jam 9 pagi. Pagi yang cukup
terlambat untuk bekerja, tapi sudahlah, lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali, bukan? Kemarin hari jumat,
aku ingat sebab kau kekasih, mengingatkan aku untuk tidak lupa pergi jumatan
siang nanti. Siang tiba di kotaku tepat waktu, membawa serta panas yang terik.
Cukuplah untuk menguji kesabaranku yang sedang menahan haus ini. Sekitar pukul
12.40 aku berangkat menuju sebuah mushola kecil di depan tempat aku menyibukkan
diri, cukup menyeberangi jalan satu arah yang
lumayan ramai itu dan sampailah aku. Setelah kubuka sepatu abu-abu
dengan tanda centang merah di tiap sisinya, kubuka pula kaos kaki panjangku. Ketika itu, aku ingat
kau sayang, sangat. Aku buru-buru menuju tempat wudhu, tentu untuk
menganbil wudhu. Selesai itu, aku teringat untuk mematikan semua sumber suara
dari telepon genggamku, kubuat mode silent semua ketika saat bersamaan aku berjalan
mencari tempat kosong untuk duduk mendengarkan ceramah yang daritadi terdengar
samar sebab perhatianku belum sepenuhnya kesana. Aku duduk dan diam.
Setelah selesai sholat dan mendoakan
orang-orang kesayanganku sayang, aku kembali bekerja. Mataku tidak pernah lepas
dari jam yang ada di sudut kanan bawah dari monitor yang sedari tadi
kupandangi. Ketika sore datang menggantikan siang, aku perintahkan udara
membawakan pesan untukmu, kukirimkan dengan penuh rindu dan sayang, saat kau
terima pesan itu, aku sedang menyalakan motor yang sudah kududuki. “Hati-hati
pulangnya, jangan ngebut, jangan emosian di jalan” katamu penuh perhatian. Kau tahu
aku paling benci jalanan dalam keadaan lapar, penat, mood yang tidak pas, atau
rindu yang sedang panas. Sebab aku pernah bilang; jalanan adalah tempat penuh
marah. Kendaraan yang berdesakan, macet, orang-orang yang tidak punya sabar,
pengendara motor yang ugal-ugalan, pengemudi mobil yang sangat suka membunyikan
klakson, ibu-ibu pengendara motor yang mengira jalanan adalah miliknya seorang
atau semuanya yang selalu salah di mataku. Semua hal itu sangat gampang
mengudang marah. Kuiyakan penuh-penuh perintahmu tadi sayang, aku adalah
kekasihmu yang penurut.
Teman-temanku sudah menunggu, kami akan buka
puasa bersama sore ini, tiba di rumah kupersiapkan beberapa hal lalu kutemui
langsung teman-temanku dan bersama-sama berangkat menuju sebuah cafe yang sudah
kami booking beberapa meja untuk acara tahunan ini. Kegiatan yang menyenangkan,
kami tidak ingin cepat sudah, kami lanjutkan lagi menikmati sore yang sudah
menjadi malam hingga sangat larut. Sekita pukul 12an tengah malam, aku pulang
dengan lelah dan ngantuk yang sangat. Aku
cepat tertidur, dan seharian itu aku lupa mematikan mode silent telepon
genggamku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar