Conquista,
Surat ini kutulis di
bawah langit sore, bercahayakan warna keemasan yang berlarian di bawah kakiku,
di tempat sekarang aku memikirkan dirimu.
Apakah yang sedang kau
lakukan, Perempuan? Apakah kau sedang sibuk dengan pelangganmu yang terakhir
hari ini? Apakah kau sedang kesal dengan keluhan menjengkelkan dari orang-orang
yang datang padamu? Atau apakah kau sedang mengendarai motormu membelah angin
menuju pulang yang sudah kau tunggu-tunggu sejak selesai makan siang tadi?
Kutulis surat ini
sebaik-baiknya, agar ketika sampai padamu dan kau bacakan kau bisa tahu
bagaimana aku menulis surat ini dengan penuh perasaan. Aku tumpahkan sebagian
rinduku pada tiap huruf yang kau lihat, dan semoga saja bisa kau rasakan
bagaimana huruf-huruf ini sangat ingin memelukmu.
Kulihat warna keemasan
di luar mulai memudar, matahari bersiap pulang menuju peluk seseorang di
belahan bumi lain meninggalkan aku yang masih saja berfikir tentang dirimu. Menjauh,
memudar, seolah-olah kita yang tidak akan pernah selamanya. Seperti senja yang pasti
berganti malam. Tapi itu semua barangkali tidak lagi penting bukan?
Seperti katamu; aku
terlalu mementingkan soal perasaan, sedangkan asmara hanyalah bagian yang
sangat kecil dari semesta dibanding hal lain yang tidak kalah pentingnya. Barangkali
begitulah sebuah keegoisan semestinya.
Kukira kau masih ingat
satu malam di depan rumahmu. Malam yang memastikan bahwa hari telah berlalu dan
kita hanya bisa saling memandang dan merasakan bagaimana angin berhembus dengan
dinginnya. Dan merasa bahwa betapa waktu begitu singkat, bagaimana waktu terasa
tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah cukup bagi keinginan yang tidak akan
pernah terpenuhi. Mungkin pula kita hanya harus merasa semua ini sudah cukup,
dan bersyukur karena sempat merasakan saat-saat yang indah.
Tapi sudahlah, kita
kenang saja waktu dengan sebaik-baiknya, mungkin saja tidak akan lama barangkali
waktu pula yang akan menghapus ingatan-ingatan tentang kebahagiaan yang sempat
kita rasakan. Bukankah kita sudah cukup bahagia. Apa lagi yang bisa aku
harapkan darimu, ketika kau sendiri meminta untuk tidak lagi berharap. Permintaanmu
sungguh berat.
Kenanglah aku
sebaik-baiknya, walau yang kutinggalkan tidak selalu kenangan baik.
Tiap kali aku melihat
begitu banyak manusia, aku berharap barangkali aku akan bertemu denganmu di
antara mereka, walau sebernarnya aku tahu kau berada di kota yang berbeda. Tapi
seperti itulah harapan itu datang. Membuat semangat menyala meski untuk sesuatu
yang sebenarnya tidak akan pernah jadi nyata.
Aku masih saja
berharap, sebab seperti katamu pula; harapan itu tidak boleh mati. Kita hidup
dengan sebuah harapan. Maka harapanku adalah suatu saat nanti kita masih akan
bertemu, walau sebentar, walau untuk yang terakhir. Mungkin itu akan menjadi
akhir yang paling membahagiakan...
... atau yang paling
menyakitkan.
Aku masih di sini saja,
menulis sesuatu untukmu, di salah satu kotak besi yang di dalamnya aku kau
kunci. Dari malam ke malam kutulis surat kepadamu, sekedar untuk mengingatkanmu
ingatan itu masih ada, masih menggerakkan serat-serat halus perasan kita,
sekedar untuk membuktikan bahwa kita belum menjadi pelupa.
Kata mereka akan tiba
waktunya kita harus menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Membiarkan perasaan
kita menggelepar seperti ikan, dan mencoba hidup bersama kenyataan. Biarlah aku
kejam pada diriku sendiri asal tidak padamu.
Kenanglah aku,
kenanglah dengan sebaik-baiknya, sebahagia-bahagianya.
Adonis
kamu melankoli ternyataaaa, aku kirain tegar dan hampir tak punya perasaan. haiahaha, ya maap.
BalasHapus(kan diundang baca, komen dong buat bukti. *digetok)
-ika
Ika, aku tidak setegar itu. Ah, sepertinya aku telah gagal menyembunyikan luka. Dan sekarang, inilah aku. Kita tetap temenan, kan? Kaaaan?
HapusTerimakasih sudah datang.