Kutipan di atas ternyata memang benar adanya, saat aku sendiri yang mengalaminya. Seminggu sudah kami (aku dan wanita itu) tidak bertemu. Tidak bertemu secara langsung bertatapan muka, maksudku. Karena sebenarnya, rinduku selalu sampai ke telinga wanita itu, meneriaki namanya tepat di fikirannya. Meminta dia untuk cepat-cepat kembali, memuaskan rindu ini. Kami saling bertemu sebenarnya, di tiap malam di fikiran ku. Rindu-rindu itu sedang asik mengobrol sambil menikmati segelas Sanger Oreo di sana. Untuk seminggu ini jarak menjadi musuh terbesar, karena harus memisahkan aku dan wanita itu dalam daratan yang berbeda. Aku sedang tidak ingin berteman dengan jarak.
Dan yang benar saja, aku merasa ada yang hilang. Kemana wanita yang suka sekali tertawa itu? Rinduku bertanya. Saat aku kembali mengunjungi tempat favorite kami itu, kali ini bersama teman tongkrongan, sudut ruangan kesukaan kami (aku dan wanita itu) tidak begitu mengasikan. Apa yang berbeda dari ruangan ini? Rinduku lagi yang bertanya.
Lalu aku sadar, bukan ruangan itu yang membuat asik, tetapi wanita itu yang membuatnya. Wanita yang suka tertawa itu. Hanya ada tawa kecil yang keluar dari mulutku sedari tadi, tidak selepas dan sekencang saat bersama wanita itu.
Apa aku suka padanya? Ya, aku suka berada di dekatnya. Itu mengasikan. Apa aku merindukannya? Sudah pasti, iya. Apa aku cinta dia? Entahlah..
Tapi yang jelas aku ingin dia berada di sini lagi secepatnya.
Jadi pilihan satu-satunya dari rindu adalah bersabar. Bersabar untuk bertemu. Tetapi rindu bukan tipe yang penyabar, tidak jarang rindu pergi begitu saja karena harus terlalu lama menunggu.
Sanggupkah rinduku menunggu?
Atau, pantaskah wanita itu untuk ditunggu?
cari tahuuuuuu doonk, penasaran kisah selanjutnya.
BalasHapus