20 November 2014

Cerita Kebodohan Masa Kecil Part.2



Kecil, adalah sebutan yang sangat melekat padaku. Kebetulan aku adalah anak yang paling kecil, tapi itu dulu. Sekarang aku jadi anak yang paling tinggi sekeluarga. *bangga* Tau kenapa aku bangga? Karena pada masa itu, anak-anak seusiaku tidak tumbuh dengan postur tubuh tinggi. Ya standar rata-rata tinggi badan anak-anak Indonesialah. Dan sedari kecil, wanita dengan rambut lebat dengan senyum hangat itu memanggilku “menek” yang berarti kecil dalam bahasa Mandailing, dia ibuku.

Apa saat kecil aku pintar? Tentu saja. Saat Sekolah Dasar dulu, kelas satu semester 1, aku mendapat ranking 13, dari 30an murid. Apa itu hebat? Tentu tidak. Itu tadi hanya pemanasan saja, sekalian cek ombak, segimana sih lawan aku satu kelas. Dan saat semester dua, aku langsung mendapat ranking 2. *tepok tanganin diri sendiri* udah? Gitu doang? Masih beluuummmm. Kelas 2, aku dapet ranking 1 dari 40an murid. Sudah jangan heran gitu, itu hanya hal yang biasa. Tapi apakah aku tidak pernah melakukan hal-hal bodoh? Tentu pernah, itu sudah mengalir dalam darahku. Apa saja kebodohan yang pernah aku lakukan saat kecil?
Ngompol di kelas, siapa coba yang gak pernah ngompol di kelas? Siapa? Semua anak-anak pasti pernah, eh gak semua juga deh. Tapi kobodohan yang satu ini merupakan kebodohan mainstream yang banyak dilakukan anak-anak, SD tepatnya.
Jadi pagi itu sebelum berangkat sekolah, aku minum terlalu banyak air, aku sangat haus, seakan sudah sebulan tidak minum. Sampai di sekolah, pelajaran pertama adalah matematika, dan gurunya seorang wanita galak tanpa canda dan humor. Tidak ada kata senyum, tawa, canda di kamusnya. Yang dia tau hanya cemberut, dan menjalani hidup dengan terlalu serius.


Pelajaran dimulai, aku duduk di tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Setengah jam pelajaran berlangsung, rasa sesak itu mulai datang, masih bisa kutahan. Aku lanjutkan memperhatikan pelajaran yang sedang wanita galak itu terangkan di depan kelas. 20 menit berikuutnya, wanita itu selesai menerangkan pelajaran dan kemudian memberi tugas. Bila wanita itu sudah memberikan tugas, tidak ada alasan. Tidak satu anak pun yang boleh macam-macam dengan alasan apapun. Tidak juga dengan alasanku yang sedari tadi menahan sesak ingin kencing. Kali ini sudah sangat sesak, sudah di ujung rasanya, tak bisa aku tahan lagi. Aku beranikan diri menghadap wanita itu, meminta izin ke toilet. “Tidak! Jangan banyak alasan! Sana kerjakan tugasmu!” dengan galaknya wanita itu. Tapi Buk, ini udah di ujung loh. “kencingkan saja di bangkumu” tambah wanita itu lagi. Aku kembali dengan hati yang kecewa, aku duduk, wajahku tidak karuan menahan rasa sesak itu. Entah kelihatan seperti apa saat ini wajah imutku. Tapi sesak itu sungguh sangat menyiksa, itu sesak yang paling sesak yang pernah aku rasa, dan tidak mau merasakannya lagi. Tidak lagi. 5 menit coba kutahan, dan aku tidak kuat, aku dengan terpaksa mengeluarkannya di situ, di bangku ku, di celanaku. Ah, lega rasanya...

Aku tidak memperdulikan teman sekelas yang sedang tertawa melihatku, aku sedang asik kencing. Dan itu kencing terasik yang pernah aku lakukan.

2 komentar:

  1. Syukurlah Aku tidak pernah kencing di celana apalagi di sekolahan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baguslah, berarti kamu tidak pernah merasakan kelegaan seperti itu. :))

      Hapus