Kecil,
adalah sebutan yang sangat melekat padaku. Kebetulan aku adalah anak yang
paling kecil, tapi itu dulu. Sekarang aku jadi anak yang paling tinggi
sekeluarga. *bangga* Tau kenapa aku bangga? Karena pada masa itu, anak-anak
seusiaku tidak tumbuh dengan postur tubuh tinggi. Ya standar rata-rata tinggi
badan anak-anak Indonesialah. Dan sedari kecil, wanita dengan rambut lebat
dengan senyum hangat itu memanggilku “menek” yang berarti kecil dalam bahasa
Mandailing, dia ibuku.
Apa
saat kecil aku pintar? Tentu saja. Saat Sekolah Dasar dulu, kelas satu semester
1, aku mendapat ranking 13, dari 30an murid. Apa itu hebat? Tentu tidak. Itu
tadi hanya pemanasan saja, sekalian cek ombak, segimana sih lawan aku satu
kelas. Dan saat semester dua, aku langsung mendapat ranking 2. *tepok tanganin
diri sendiri* udah? Gitu doang? Masih beluuummmm. Kelas 2, aku dapet ranking 1
dari 40an murid. Sudah jangan heran gitu, itu hanya hal yang biasa. Tapi apakah
aku tidak pernah melakukan hal-hal bodoh? Tentu pernah, itu sudah mengalir
dalam darahku. Apa saja kebodohan yang pernah aku lakukan saat kecil?
Ngompol
di kelas, siapa coba yang gak pernah ngompol di kelas? Siapa? Semua anak-anak
pasti pernah, eh gak semua juga deh. Tapi kobodohan yang satu ini merupakan
kebodohan mainstream yang banyak dilakukan anak-anak, SD tepatnya.
Jadi
pagi itu sebelum berangkat sekolah, aku minum terlalu banyak air, aku sangat
haus, seakan sudah sebulan tidak minum. Sampai di sekolah, pelajaran pertama
adalah matematika, dan gurunya seorang wanita galak tanpa canda dan humor. Tidak
ada kata senyum, tawa, canda di kamusnya. Yang dia tau hanya cemberut, dan
menjalani hidup dengan terlalu serius.
Pelajaran
dimulai, aku duduk di tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Setengah jam
pelajaran berlangsung, rasa sesak itu mulai datang, masih bisa kutahan. Aku lanjutkan
memperhatikan pelajaran yang sedang wanita galak itu terangkan di depan kelas.
20 menit berikuutnya, wanita itu selesai menerangkan pelajaran dan kemudian
memberi tugas. Bila wanita itu sudah memberikan tugas, tidak ada alasan. Tidak satu
anak pun yang boleh macam-macam dengan alasan apapun. Tidak juga dengan
alasanku yang sedari tadi menahan sesak ingin kencing. Kali ini sudah sangat
sesak, sudah di ujung rasanya, tak bisa aku tahan lagi. Aku beranikan diri
menghadap wanita itu, meminta izin ke toilet. “Tidak! Jangan banyak alasan! Sana
kerjakan tugasmu!” dengan galaknya wanita itu. Tapi Buk, ini udah di ujung loh.
“kencingkan saja di bangkumu” tambah wanita itu lagi. Aku kembali dengan hati
yang kecewa, aku duduk, wajahku tidak karuan menahan rasa sesak itu. Entah kelihatan
seperti apa saat ini wajah imutku. Tapi sesak itu sungguh sangat menyiksa, itu
sesak yang paling sesak yang pernah aku rasa, dan tidak mau merasakannya lagi. Tidak
lagi. 5 menit coba kutahan, dan aku tidak kuat, aku dengan terpaksa
mengeluarkannya di situ, di bangku ku, di celanaku. Ah, lega rasanya...
Aku
tidak memperdulikan teman sekelas yang sedang tertawa melihatku, aku sedang
asik kencing. Dan itu kencing terasik yang pernah aku lakukan.
Syukurlah Aku tidak pernah kencing di celana apalagi di sekolahan...
BalasHapusBaguslah, berarti kamu tidak pernah merasakan kelegaan seperti itu. :))
Hapus