Jumat, hari kedua setelah kau di sana, aku makin akrab berteman dengan rindu. Kami bagai sahabat karib, sangat dekat. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, terbangun tepatnya. Aku sering bermimpi kini, dan kebanyakan ada kau di dalamnya. Seperti pagi ini, kau singgah ke tidurku, tanpa permisi, membawa harapan bahwa akan ada kau yang nyata saat aku buka mata. Namun tidak, nyatanya aku harus melatih lagi kesabaranku dalam menunggu. Saat kau tidak di dekatku, aku merindu, dan saat aku merindukanmu, aku makin mensyukuri adamu.
Menuju siang, rindu ini semakin hangat, dan kita bersepakat untuk mengurangi sebagiannya sehabis sholat jumat. Aku akan menelponmu, itu hasil kesepakatannya. Tak mau berlama-lama aku terburu-buru pulang, kutekan nomor henponmu, aku tunggu beberapa kali bunyi "tuuuut" "tuuuut" sampai kau angkat. Hanya dengan mendengar suaramu pertama kali, langsung membunuh banyak sekali rindu. Ah, ajaib sekali sihir suaramu waktu itu. Sekitar satu jam kita berbicara lewat udara, membahas apa saja yang bisa diucapkan dan terlintas di fikiran, tak lupa juga tentang perasaan-perasaan yang sudah lama ingin bermanja-manja, walau sebenarnya baru dua hari saja tak jumpa. Untungnya aku adalah pria yang mudah sekali merindukanmu. Dan yang tak kalah menguntungkan juga, aku punya kemampuan untuk merindukanmu, aku merindukanmu dengan baik.
Aku tau kau pun rasakan rindu yang sama, itu terlihat dari caramu meminta aku kirimkan fotoku sehabis sholat tadi. Untunglah aku orang yang pantas untuk kau rindukan. Daritadi aku adalah pria yang beruntung, untunglah aku adalah aku. Bagaimana jika aku bukanlah aku? Aku tak akan bisa merasakan asiknya kau rindukan, aku akan sangat menyesal tak merasakan rindumu. Terimakasih Tuhan, sudah menjadikan aku adalah aku. Dan terimakasih sayang sudah merindukan aku. Aku sayang kau, Rahmiku.
Apo-mu
Keren kak tulisannya, semangat :)
BalasHapusTerimakasih. Senang sekali rasanya.
Hapus