29 Mei 2015

Aku Pernah Mencintai Hujan



Cinta diturunkan ke bumi bersamaan dengan turunnya Adam dan Hawa dari surga.

Begitulah cinta itu bisa ada di bumi ini menyebar hingga ke setiap sudut dunia, tidak terlewat satu meter pun dari tiap jengkal permukaan tanah. Aku sudah berdiri di tempat biasa aku berdiri dalam beberapa hari ini, tepat menghadap jendela memandang luas ke arah pepohonan di luar sana. Umurku baru 5 tahun waktu itu. Aku sedang mengawasi langit, tiap aku sedang merasa sedih entah kenapa langit menjadi gelap. Atau entah kenapa tiap langit gelap aku mendadak menjadi sedih. Entah ada apa dengan kami. Sepertinya langit tau apa yang sedang kurasakan.


Ia sedang gelap sekarang ini, makanya cepat-cepat aku kembali ke posisiku untuk memperhatikannya, lalu perasaan itu datang lagi, aku mendadak cengeng dan ingin menjerit menangis. Aku rasa langit juga sedang memperhatikanku.

“ada apa denganku?” aku yang satunya bertanya

Tapi aku menyukai perasaan ini, bukan bahagia tapi aku merasa damai dan tenang, ada perasaan aman juga sedikit. Aku masih heran. Tidak ada dari salah satu abangku yang menggangu, atau salah satu kakak perempuanku yang memaksa aku memakai pakaian perempuan, tapi kenapa aku ingin menangis? Aku harus mendapatkan jawabannya hari ini. Ada lagi yang aneh, beberapa hari kemarin saat aku juga sedang memperhatikan langit, tiba-tiba langit itu menangis setelah lama berwarna hitam. Tanpa aku sadar, pipiku juga ikut basah.

“Tidak ada atap yang bocor, lalu darimana tetesan air hujan ini?” aku makin terheran-heran


Banyak pertanyaan yang ingin kutanya pada orang-orang yang lebih dulu hidup sebelum aku di keluargaku, tapi aku takut, aku takut nanti mereka ikut memperhatikan langitku. Langit itu punyaku, langit itu memperhatikanku. Jika harus berebutan tentang langit sudah jelas aku yang akan paling kalah dibanding kakak dan abang-abangku. Aku tidak mau langit juga memperhatikan mereka. Aku yang pertama, cukup aku saja.

Pepohonan mulai bergoyang, daun-daun melayang beterbangan, angin berhembus kencang. Kulihat langit semakin gelap, sepertinya langit akan menangis lagi. Tanda-tandanya sama persis seperti kemarin. Perasaanku semakin tidak karuan. Aku semakin sedih, tapi rasa penasaranku yang sangat malah membuat aku juga senang akan peristiwa yang kulihat sebentar lagi ini. Aku juga takut, aku tidak tahu kenapa, yang aku tahu aku takut. Langit berteriak dari segala arah, ada cahaya juga menyertai tiap kali langit marah, langit seperti sedang membentak, sepertinya ia sedang kesal dengan teman-temannya karena kalah main kelereng, atau ia berkelahi dengan abang yang menjengkelkan. Entahlah, mungkin ia benci dengan hidupnya.

Mencapai puncak amarahnya, langit tumpahkan kekesalan dengan menangis. Tetesan pertamanya jatuh ke jendela tepat di depan wajahku. Perlahan jatuh menggaris kaca bersamaan dengan arah jari telunjukku. Tidak lama kemudian tetesan yang lain sampai, jendelaku kini basah. Aku ikut lega.

Perlahan kurasakan ada yang bergerak di pipi kananku, kuangkat tangan untuk merasakannya, itu air. Aku rasakan itu air.

“ Apa atapnya bocor lagi?” aku berbisik

Tidak ada lubang apapun di atas sana saat aku melihat ke atas. Lalu darimana?
Kini pipi kiriku yang basah. Kulihat bayanganku ke arah jendela yang penuh air, aku sadar, aku yang menangis. Aku lega.

Kudengar kakak berteriak di luar sambil mengangkati jemurannya.
“Hujan! Hujan!” teriaknya memberitahukan
orang-orang.

Lalu aku tahu, air itu bernama Hujan. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan cinta. Ini cinta pertamaku. Aku jatuh cinta. Aku cinta Hujan.

Setelahnya aku selalu senang tiap kali hujan datang, walau aku turut sedih atau aku sebenarnya sedang sedih, tapi aku senang hujan turun. Hujan itu kekasihku. Seperti semua kekasih yang bertemu, selalu ada peluk yang hangat dan cium yang mesra. Juga kami, kupeluk hangat Hujan dengan telapak tanganku yang menempel di jendelaku yang dingin. Kuusap embun ditiap kaca itu lalu kucium dengan sungguh-sungguh. Tidak ada yang lebih mesra dari itu, itu ciumanku. Sesekali aku keluar rumah, kubiarkan Hujan memilikiku, kupasrahkan diriku padanya, ku biarkan apapun yang ingin ia lakukan. Aku cinta Hujan.

Aku beranjak besar, aku tumbuh, juga cintaku pada Hujan. Aku sudah bersekolah kini dan cinta pada kekasihku makin ngeri. Bukan hanya di jendela rumahku saja kini kami bertemu, tapi dimana saja. Di jendela sekolah saat aku sedang belajar, sesekali Hujan meminta temu, ia mudah sekali rindu. Aku sibuk memperhatikan langit saat yang lain sedang fokus ke sumber suara yang sedari tadi mengoceh di depan kelas, entah apa yang dikatakannya. Di dalam angkot saat aku sedang menuju pulang, Hujan juga meminta rindunya kubunuh. Melalui jendela kecil itu kupeluk Hujan kuat-kuat, agar ia tahu sebagaimana cintaku. Bahkan saat usiaku memasuki remaja, disaat aku sedang sibuk-sibuknya memperhatikan sebuah wujud dengan paras yang cantik dengan suara yang lembut, Hujan juga masih sering kali meminta cintaku.

Suatu hari, saat aku berumur dua puluh, aku masih mencintai Hujan, pun sama Hujan masih sangat mencintai aku. Walau disaat yang bersamaan aku juga sedang mencintai perwujudan lain, hanya saja kali ini dari jenisku, dia manusia juga, kami sama. Aku sedang mencintai seorang wanita, aku takut Hujan akan cemburu, tidak kuberitahukan padanya, aku kira aku bisa menyembunyikan perasaan yang bukan untuk sang Hujan.


Kami sedang di sebuah resto siang itu, aku dan si wanita tentunya, sebab Hujan tidak bisa kau ajak makan. Kami bersiap memesan makanan kesukaan masing-masing, sambil menunggu kami mengobrol. Aku sungguh mencintai wanita di depanku ini, aku juga mencintai Hujan, aku tahu Hujan mencintaiku, tapi aku tidak tahu kalau Hujan tidak mencintai wanita yang aku cintai itu. Ini rumit. Tiba-tiba langit mendadak gelap, tidak ada satu orangpun yang tiba-tiba pula memperhatikan langit dengan sangat seperti aku. Sepertinya langit meminta perhatianku. Aku gelisah seorang diri, yang lain menanggapi biasa saja perilaku langit yang akan menangis itu.

“jangan hujan, jangan sekarang..” aku berbicara sendiri

Dengan komando yang tegas, Hujan turun serentak membasahi seluruh daerah yang bisa dijangkaunya dengan air yang turun begitu banyak. Hujan kali ini sangat deras. Mungkin ini badai. Hujan sangat sedih. Aku yang membuatnya begitu. Pun begitu masih kupeluk Hujan dengan penuh sesal berharap ada maaf darinya. Kupegangi terus jendela yang kini basah,  tanpa kusadari makanan kami telah datang, seleraku mendadak hilang.

“Maaf..”

Sehabis hujan daerah itu porak poranda, daun dimana-mana, pohon tumbang, perasaan lega yang selalu kurasaka sehabis hujan juga lenyap. Aku takut. Aku tidak tahu kenapa, yang aku tahu aku takut. Hujan marah padaku, memang sudah seharusnya, aku terima. Wanita itu, dia tidak pernah aku temui lagi, seperinya aku tidak benar-benar mencintainya. Aku lebih memikirkan Hujan. Tapi aku tidak bisa selalu begini, Hujan bukanlah cinta yang benar buatku, kami dari jenis yang berbeda, tidak mungkin ada yang akan merestui kami, apalagi menikahkan kami, tidak mungkin. Aku ihklas Hujan tidak mencintaiku lagi.

“Apa sebenarnya cinta itu?”  kutanya diriku sendiri


Setelah hari itu hujan masih sering turun, aku tidak tahu apa hujan masih marah atau itu masih cintanya padaku. Aku takut untuk menebak. Cintaku setiap harinya semakin memudar untuk Hujan, mungkin Hujan juga rasakan yang sama. Meski begitu masih sering kutatap langit dari jendelaku, memperhatikannya, meski tidak sesenang dulu rasanya. Masih kupeluk Hujan untuk terakhir kalinya hari itu, sebagai salam perpisahan antara kami, sebab dengan cara itu pula kami dulu bertemu.


Sekarang ini, aku sedang duduk di depan meja menatap laptopku, sambil memikirkan seorang perempuan yang sedang memikirkanku jauh disana, aku sedang menulis, aku menulis cerita ini. Perempuan yang aku fikirkan itu, dia kekasihku, namanya Rahmi. Aku mencintainya, cintaku kali ini benar-benar benar. Aku bertemu dengannya setahun yang lalu, dan dari ceritanya aku tahu kalau kekasihku ini juga pernah menjadi pengagum Hujan. Sama sepertiku. Lalu aku teringat dengan Hujanku yang dulu, tapi aku tidak lagi mencintai Hujan, kini aku sedang sangat dan akan terus dengan sangat mencintai perempuan yang pernah jadi pengagum sang Hujan, Rahmiku.

Sesekali pernah kulihat Hujan itu, masih dengan perilaku dan tingkah yang sama, namun kini dengan perasaan yang tidak lagi sama. Mungkin ada pengagumnya yang lain yang membuatnya marah, entahlah. Mungkin aku tidak satu-satunya, tapi Aku Pernah Mencintai Hujan..






Tidak ada komentar:

Posting Komentar