Pada tengah malam yang diam, satu-satunya
suara yang terdengar hanyalah cekikikan tawa anak-anak sunyi sedang bermain,
menertawakan apa saja; dedaunan yang berteriak jatuh, angin dingin yang
berbisik berhembus pelan, langkah kecil serangga di balik semak. Apapun, bagi
mereka adalah lelucon paling menggelikan.
Pada saat itu pula seorang lelaki sedang
mengamati kegelapan, duduk di tempatnya biasa seperti setiap malam sebelumnya, befikir
dan mengingat kembali apa yang bisa diingat. Kenangan, kenangan dan kenangan, hanya
itu yang bisa diingatnya di tengah malam seperti ini. Sebuah laptop bersuhu
cukup panas ada di atas meja di hadapannya, seperti habis dipakai untuk
menonton film atau belajar mengetik sepuluh jari. Juga sebuah telepon-genggam menyala
dan dompet yang terbuka mengarah pada lelaki itu, dengan sebuah foto berukuran
3x4 berada di dalam. Foto seorang perempuan cantik setengah tersenyum sedang
menatap mata kosong si lelaki yang fikirannya ada jauh di ujung kota Sumatera, kota
berpantai yang beberapa tahun lalu pernah dikunjungi, berjarak enam jam
perjalanan darat dari tempat ia duduk.
Dalam lamunannya menerobos gelap yang
hitam pekat mencari-cari seorang perempuan, perempuan pemilik rindu serta
cintanya. Mengacak-acak kota tersebut, mengamuk layaknya induk T-rex dalam film
The Lost World: Jurassic Park yang menghancurkan kota mencari anaknya, hilang
diambil para penjahat. Menabrak apa saja, mobil yang terparkir di pinggiran
jalan, bus yang tidak sengaja melintas atau mobil polisi yang terus mengejar. Tidak
akan berhenti sampai ia menemukan apa yang dicari.
Terdengar lagi tawa dari gelap di ujung sana,
kali ini lebih keras dari yang pernah ia dengar. Menyadarkan lelaki itu dari
lamunan yang sedari tadi sedang sangat ia nikmati, sesekali tersenyum kecil
mendegar tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak sunyi yang terus
tertawa terbahak melihat si lelaki hanya duduk diam menyendiri melamun di
tengah-tengah kesunyian yang meriah penuh kegembiraan. Ia sadar, kali ini dialah
bahan leluconan, dialah satu-satunya yang mereka tertawakan.
Matanya menatap foto perempuan itu kini,
seakan
pandangannya bisa melintasi ruang dan waktu, terbang secepat sebuah pesan dari telepon-genggam yang sedang ia ketik untuk perempuan itu, kekasihnya, Rahminya.
pandangannya bisa melintasi ruang dan waktu, terbang secepat sebuah pesan dari telepon-genggam yang sedang ia ketik untuk perempuan itu, kekasihnya, Rahminya.
“Sayangku, cintaku, rinduku, kekasihku,
kebanggaanku, inspirasiku, aku sayang kau, Rahmiku. Aku benar-benar sayang kau.”
Melintasi mega-mega penuh bintang bekilauan, melewati
lampu-lampu gemerlap kota, udara dingin, dan seekor burung hantu yang
berkeliaran setiap malam memutari rumah, seketika pesan tersebut sampai pada
telepon-genggam perempuan itu, saat itu juga khayalannya ikut terbang sampai di
sana, mendapati kekasihnya itu sedang tertidur dalam-dalam menjauh dari
kenyataan yang lebih menyeramkan dari mimpi buruk di tengah malam. Secepat itu
pula ia kembali pada kenyataan menemukan dirinya hanya duduk diam melamun di
tengah sunyi yang sangat berisik dengan tawa-tawa merendahkan.
Ia sadar tidak ada sunyi yang lebih hening
dari diam perempuannya, ia sadar tidak ada gelap yang lebih hitam dari
kehilangan Rahminya, ia sadar tidak ada yang lebih benar yang pernah ia
lakukan, tidak ketika segalanya terasa benar saat bersama pemilik rindunya.
“Maaf Rahmi”
Selamat Meningat dan Mengulang
Nagamu :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar