29 Oktober 2015

Mengingat dan Mengulang

Pada tengah malam yang diam, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah cekikikan tawa anak-anak sunyi sedang bermain, menertawakan apa saja; dedaunan yang berteriak jatuh, angin dingin yang berbisik berhembus pelan, langkah kecil serangga di balik semak. Apapun, bagi mereka adalah lelucon paling menggelikan.

Pada saat itu pula seorang lelaki sedang mengamati kegelapan, duduk di tempatnya biasa seperti setiap malam sebelumnya, befikir dan mengingat kembali apa yang bisa diingat. Kenangan, kenangan dan kenangan, hanya itu yang bisa diingatnya di tengah malam seperti ini. Sebuah laptop bersuhu cukup panas ada di atas meja di hadapannya, seperti habis dipakai untuk menonton film atau belajar mengetik sepuluh jari. Juga sebuah telepon-genggam menyala dan dompet yang terbuka mengarah pada lelaki itu, dengan sebuah foto berukuran 3x4 berada di dalam. Foto seorang perempuan cantik setengah tersenyum sedang menatap mata kosong si lelaki yang fikirannya ada jauh di ujung kota Sumatera, kota berpantai yang beberapa tahun lalu pernah dikunjungi, berjarak enam jam perjalanan darat dari tempat ia duduk. 


Dalam lamunannya menerobos gelap yang hitam pekat mencari-cari seorang perempuan, perempuan pemilik rindu serta cintanya. Mengacak-acak kota tersebut, mengamuk layaknya induk T-rex dalam film The Lost World: Jurassic Park yang menghancurkan kota mencari anaknya, hilang diambil para penjahat. Menabrak apa saja, mobil yang terparkir di pinggiran jalan, bus yang tidak sengaja melintas atau mobil polisi yang terus mengejar. Tidak akan berhenti sampai ia menemukan apa yang dicari.

Terdengar lagi tawa dari gelap di ujung sana, kali ini lebih keras dari yang pernah ia dengar. Menyadarkan lelaki itu dari lamunan yang sedari tadi sedang sangat ia nikmati, sesekali tersenyum kecil mendegar tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak sunyi yang terus tertawa terbahak melihat si lelaki hanya duduk diam menyendiri melamun di tengah-tengah kesunyian yang meriah penuh kegembiraan. Ia sadar, kali ini dialah bahan leluconan, dialah satu-satunya yang mereka tertawakan.


Matanya menatap foto perempuan itu kini, seakan
pandangannya bisa melintasi ruang dan waktu, terbang secepat sebuah pesan dari telepon-genggam yang sedang ia ketik untuk perempuan itu, kekasihnya, Rahminya.

“Sayangku, cintaku, rinduku, kekasihku, kebanggaanku, inspirasiku, aku sayang kau, Rahmiku. Aku benar-benar sayang kau.”

Melintasi mega-mega penuh bintang bekilauan, melewati lampu-lampu gemerlap kota, udara dingin, dan seekor burung hantu yang berkeliaran setiap malam memutari rumah, seketika pesan tersebut sampai pada telepon-genggam perempuan itu, saat itu juga khayalannya ikut terbang sampai di sana, mendapati kekasihnya itu sedang tertidur dalam-dalam menjauh dari kenyataan yang lebih menyeramkan dari mimpi buruk di tengah malam. Secepat itu pula ia kembali pada kenyataan menemukan dirinya hanya duduk diam melamun di tengah sunyi yang sangat berisik dengan tawa-tawa merendahkan.


Ia sadar tidak ada sunyi yang lebih hening dari diam perempuannya, ia sadar tidak ada gelap yang lebih hitam dari kehilangan Rahminya, ia sadar tidak ada yang lebih benar yang pernah ia lakukan, tidak ketika segalanya terasa benar saat bersama pemilik rindunya.

“Maaf Rahmi”



Selamat Meningat dan Mengulang

Nagamu :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar