13 Desember 2015

Hujan Tidak Pernah Benar-Benar Berhenti


Sejak kemarin malam, langit sudah penuh dengan awan merah, menyala terang, menyeramkan. Petir bergantian menyambar, seperti dendam yang sudah lama tertahan, sekaligus tumpah seluruh.

Lelaki itu masih saja menatap ke arah langit, mengangkat kepalanya setinggi yang ia bisa, memperhatikan gerak awan yang terbawa angin malam, perlahan kini sudah berada tepat di atas kepalanya, rumahnya, kotanya. Lehernya mendadak sakit, dengan posisi yang sama dalam waktu yang lumayan lama, otot lehernya pegal dan tegang. Ia lupa bahkan untuk berkedip, begitu serius memperhatikan langit-langit. Lelaki itu duduk, tepat di tempat yang seharusnya setiap malam setiap kali telepon genggam yang sudah lama ia tunggu berbunyi, dan berbunyi sebagai tanda kekasihnya memanggil. Lelaki itu akan segera berlari kegirangan meraih sumber suara yang berbunyi paling menyenangkan bagi telinganya, dengan sekejap menuju tempat duduknya  lagi. Tempat duduk atau bisa disebut sarang bagi nyamuk yang setiap malam juga menugguinya untuk makan malam. Ketika suara perempuan itu mulai menyapa, lelaki itu tidak ingin mendengar suara apapun yang lain. Itu adalah suara yang paling ingin didengarnya diantara semua suara yang bisa ia dengar di manapun di bumi manapun. Bahkan gigitan nyamuk yang sejak tadi sedang bergerombol menikmati darahnya tidak akan ia rasakan. Sebab suara itu adalah segala hal yang paling diinginkannya sejak ia dan kekasihnya mengenal sesuatu yang bernama jarak. Sungguh jarak ini bukan sesuatu yang baik bagi lelaki tersebut, atau lelaki manapun.

Tapi tidak malam ini, bunyi itu tidak akan datang lagi, sudah sejak kemarin ia tidak mendengar bunyi yang menyenangkan itu datang lagi. Lelaki itu hanya akan menikmati malam ini dengan duduk di bawah langit yang sedang merah dan marah. Menuggu hujan turun, mungkin air pertama yang menetes akan jatuh tepat di pipi kanannya. Ia lelah menunggu, hujan tidak juga turun sedangkan lehernya masih saja pegal. Ia memilih menidurkan lelahnya, pegalnya, di leher juga di hati. Matanya masih saja mengarah mengikuti gerak awan, memperhatikan bintang-bintang,  satu demi satu tertutup dan menghilang dimakan mendung. “Tidak banyak bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya”  ia sering mengatakan kalimat itu pada kekasihnya, ketika mereka sedang menikmati langit yang sama dan berdua kedinginan oleh angin malam yang sama. Kalimat yang diambil dari lirik lagu Payung Teduh. Yang ia tahu, ia bukan yang pertama mengatakannya. Yang lelaki itu tahu, sekarang semua tidak akan pernah lagi sama.

Saat itu juga lelaki itu berfikir, mungkin Payung Teduh akan bisa meneduhkannya dari hujan yang akan turun sebentar lagi atau dari awan merah yang sedang murka menyambar kemana-mana. Tapi tidak akan meneduhkan hatinya, tidak akan bisa meneduhkan fikirannya yang lebih mendung dari langit, tidak akan pernah bisa meneduhkan amarahnya yang lebih merah dari awan malam ini.

Tanpa aba-aba awan mulai menumpahkan apa yang tidak bisa lagi ditahan, melepaskan apa yang sejak tadi menjadi beban, berupa air yang lelaki itu sebut hujan. Tentu lelaki itu bangun dari rebahannya yang nyaman dan berlari menghindari hujan, mandi hujan tidak baik bagi kesehatan walaupun mungkin menyenangkan. Lelaki itu meninggalkan langit yang lega tangisannya membahana ke segala penjuru kota, lalu masuk dan menikmatinya berteduh dari dalam rumah.

Tidak lama hujan di luar berhenti, lelaki itu membuka jendela dan mendapati langit yang hitam tanpa awan dan penuh bintang. Itu waktu yang terlalu singkat untuk hujan, itu hujan yang paling cepat yang pernah ia tahu. jendela kembali ia tutup dan membawa serta masuk kebingungannya, lalu duduk dan berfikir.

Lelaki itu terkejut saat tanpa ia sengaja mengangkat kepalanya dan melihat gumpalan awan memerah tepat di atas kepala di bawah atap rumahnya. Bagaimana bisa awan ini ada di dalam rumah? Apa akan terjadi hujan di sini? Apa bunyi menyenangkan itu akan aku dengar lagi? Apa semuanya sedang baik-baik saja? Apa aku baik-baik saja? Otaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang entah siapa yang bisa menjawab. Petir mulai menyambar ke setiap benda yang bisa dijangkau, membakar apa saja, menyambar apa saja tapi tidak lelaki itu. Petir tidak pernah ingin menyambarnya , ia berada tepat di bawah awan penuh petir dan tidak terkena sambaran sama sekali. Keadaan ini semakin membingungkannya, sedang awan semakin memerah saja, hujan akan turun. Lelaki itu berlari keluar dari rumah tanpa membawa apapun namun membawa semua fikiran-fikirannya, segala kecemasannya, kecurigaan, serta seluruh amarahnya. Ia lupa meninggalkan semua itu di dalam bersama awan penuh petir kiranya akan tersambar dan hilang dari dalam kepalanya.

 Ia lihat dari luar, rumahnya sedang hujan di dalam. ini aneh. Ini hujan paling aneh yang pernah ia tahu. apa akan ada hujan aneh lainny malam ini?
Kebingungannya belum juga hilang, hujan mendadak berhenti. Masih saja itu terlalu singkat untuk hujan. Lelaki itu pastikan sekali lagi, memang benar, hujan sudah berhenti. Ia masuk lagi ke dalam rumah, dan tidak ada satu benda pun yang basah, atau hancur terkena petir atau terbakar. Semuanya sama seperti sebelumnya kecuali segalanya yang telah berubah. Semua ini semakin membuat bingung, hujan ini, keadaan ini, kesunyian ini. Haruskah aku yang lebih dulu menghubunginya? Atau aku memintanya membawa kembali bunyi yang paling menyenangkan itu?
Terlalu banyak pertanyaan.


Lelaki itu kembali duduk dan berfikir. Di dalam langit-langit fikirannya segumpalan awan sedang memerah penuh petir menyambar ke segala arah. Sejak tadi semua itu terus terjadi dalam kepalanya. Ia duduk dan membiarkan dirinya basah oleh hujan

1 komentar: