Sejak kemarin malam, langit sudah penuh dengan awan merah,
menyala terang, menyeramkan. Petir bergantian menyambar, seperti dendam yang
sudah lama tertahan, sekaligus tumpah seluruh.
Lelaki itu masih saja menatap ke arah langit, mengangkat
kepalanya setinggi yang ia bisa, memperhatikan gerak awan yang terbawa angin
malam, perlahan kini sudah berada tepat di atas kepalanya, rumahnya, kotanya. Lehernya
mendadak sakit, dengan posisi yang sama dalam waktu yang lumayan lama, otot
lehernya pegal dan tegang. Ia lupa bahkan untuk berkedip, begitu serius memperhatikan
langit-langit. Lelaki itu duduk, tepat di tempat yang seharusnya setiap malam
setiap kali telepon genggam yang sudah lama ia tunggu berbunyi, dan berbunyi
sebagai tanda kekasihnya memanggil. Lelaki itu akan segera berlari kegirangan
meraih sumber suara yang berbunyi paling menyenangkan bagi telinganya, dengan
sekejap menuju tempat duduknya lagi. Tempat
duduk atau bisa disebut sarang bagi nyamuk yang setiap malam juga menugguinya
untuk makan malam. Ketika suara perempuan itu mulai menyapa, lelaki itu tidak
ingin mendengar suara apapun yang lain. Itu adalah suara yang paling ingin
didengarnya diantara semua suara yang bisa ia dengar di manapun di bumi
manapun. Bahkan gigitan nyamuk yang sejak tadi sedang bergerombol menikmati
darahnya tidak akan ia rasakan. Sebab suara itu adalah segala hal yang paling
diinginkannya sejak ia dan kekasihnya mengenal sesuatu yang bernama jarak. Sungguh
jarak ini bukan sesuatu yang baik bagi lelaki tersebut, atau lelaki manapun.
Tapi tidak malam ini, bunyi itu tidak akan datang lagi, sudah
sejak kemarin ia tidak mendengar bunyi yang menyenangkan itu datang lagi. Lelaki
itu hanya akan menikmati malam ini dengan duduk di bawah langit yang sedang
merah dan marah. Menuggu hujan turun, mungkin air pertama yang menetes akan
jatuh tepat di pipi kanannya. Ia lelah menunggu, hujan tidak juga turun
sedangkan lehernya masih saja pegal. Ia memilih menidurkan lelahnya, pegalnya,
di leher juga di hati. Matanya masih saja mengarah mengikuti gerak awan, memperhatikan
bintang-bintang, satu demi satu tertutup
dan menghilang dimakan mendung. “Tidak banyak bintang malam ini, mungkin karena
kau sedang cantik-cantiknya” ia sering
mengatakan kalimat itu pada kekasihnya, ketika mereka sedang menikmati langit
yang sama dan berdua kedinginan oleh angin malam yang sama. Kalimat yang diambil
dari lirik lagu Payung Teduh. Yang ia tahu, ia bukan yang pertama
mengatakannya. Yang lelaki itu tahu, sekarang semua tidak akan pernah lagi
sama.
Saat itu juga lelaki itu berfikir, mungkin Payung Teduh akan bisa
meneduhkannya dari hujan yang akan turun sebentar lagi atau dari awan merah
yang sedang murka menyambar kemana-mana. Tapi tidak akan meneduhkan hatinya,
tidak akan bisa meneduhkan fikirannya yang lebih mendung dari langit, tidak akan
pernah bisa meneduhkan amarahnya yang lebih merah dari awan malam ini.
Tanpa aba-aba awan mulai menumpahkan apa yang tidak bisa lagi
ditahan, melepaskan apa yang sejak tadi menjadi beban, berupa air yang lelaki
itu sebut hujan. Tentu lelaki itu bangun dari rebahannya yang nyaman dan
berlari menghindari hujan, mandi hujan tidak baik bagi kesehatan walaupun
mungkin menyenangkan. Lelaki itu meninggalkan langit yang lega tangisannya
membahana ke segala penjuru kota, lalu masuk dan menikmatinya berteduh dari
dalam rumah.
Tidak lama hujan di luar berhenti, lelaki itu membuka jendela
dan mendapati langit yang hitam tanpa awan dan penuh bintang. Itu waktu yang
terlalu singkat untuk hujan, itu hujan yang paling cepat yang pernah ia tahu.
jendela kembali ia tutup dan membawa serta masuk kebingungannya, lalu duduk dan
berfikir.
Lelaki itu terkejut saat tanpa ia sengaja mengangkat
kepalanya dan melihat gumpalan awan memerah tepat di atas kepala di bawah atap
rumahnya. Bagaimana bisa awan ini ada di dalam rumah? Apa akan terjadi hujan di
sini? Apa bunyi menyenangkan itu akan aku dengar lagi? Apa semuanya sedang
baik-baik saja? Apa aku baik-baik saja? Otaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan
yang entah siapa yang bisa menjawab. Petir mulai menyambar ke setiap benda yang
bisa dijangkau, membakar apa saja, menyambar apa saja tapi tidak lelaki itu. Petir
tidak pernah ingin menyambarnya , ia berada tepat di bawah awan penuh petir dan
tidak terkena sambaran sama sekali. Keadaan ini semakin membingungkannya,
sedang awan semakin memerah saja, hujan akan turun. Lelaki itu berlari keluar
dari rumah tanpa membawa apapun namun membawa semua fikiran-fikirannya, segala
kecemasannya, kecurigaan, serta seluruh amarahnya. Ia lupa meninggalkan semua
itu di dalam bersama awan penuh petir kiranya akan tersambar dan hilang dari
dalam kepalanya.
Ia lihat dari luar,
rumahnya sedang hujan di dalam. ini aneh. Ini hujan paling aneh yang pernah ia
tahu. apa akan ada hujan aneh lainny malam ini?
Kebingungannya belum juga hilang, hujan mendadak berhenti. Masih
saja itu terlalu singkat untuk hujan. Lelaki itu pastikan sekali lagi, memang
benar, hujan sudah berhenti. Ia masuk lagi ke dalam rumah, dan tidak ada satu
benda pun yang basah, atau hancur terkena petir atau terbakar. Semuanya sama
seperti sebelumnya kecuali segalanya yang telah berubah. Semua ini semakin
membuat bingung, hujan ini, keadaan ini, kesunyian ini. Haruskah aku yang lebih
dulu menghubunginya? Atau aku memintanya membawa kembali bunyi yang paling
menyenangkan itu?
Terlalu banyak pertanyaan.
Lelaki itu kembali duduk dan berfikir. Di dalam langit-langit
fikirannya segumpalan awan sedang memerah penuh petir menyambar ke segala arah.
Sejak tadi semua itu terus terjadi dalam kepalanya. Ia duduk dan membiarkan
dirinya basah oleh hujan
syedih po
BalasHapus