1 Februari 2016

Kenanglah Aku Sebaik-Baiknya

Conquista,



Surat ini kutulis di bawah langit sore, bercahayakan warna keemasan yang berlarian di bawah kakiku, di tempat sekarang aku memikirkan dirimu.


Apakah yang sedang kau lakukan, Perempuan? Apakah kau sedang sibuk dengan pelangganmu yang terakhir hari ini? Apakah kau sedang kesal dengan keluhan menjengkelkan dari orang-orang yang datang padamu? Atau apakah kau sedang mengendarai motormu membelah angin menuju pulang yang sudah kau tunggu-tunggu sejak selesai makan siang tadi?


Kutulis surat ini sebaik-baiknya, agar ketika sampai padamu dan kau bacakan kau bisa tahu bagaimana aku menulis surat ini dengan penuh perasaan. Aku tumpahkan sebagian rinduku pada tiap huruf yang kau lihat, dan semoga saja bisa kau rasakan bagaimana huruf-huruf ini sangat ingin memelukmu.


Kulihat warna keemasan di luar mulai memudar, matahari bersiap pulang menuju peluk seseorang di belahan bumi lain meninggalkan aku yang masih saja berfikir tentang dirimu. Menjauh, memudar, seolah-olah kita yang tidak akan pernah selamanya. Seperti senja yang pasti berganti malam. Tapi itu semua barangkali tidak lagi penting bukan?


Seperti katamu; aku terlalu mementingkan soal perasaan, sedangkan asmara hanyalah bagian yang sangat kecil dari semesta dibanding hal lain yang tidak kalah pentingnya. Barangkali begitulah sebuah keegoisan semestinya.


Kukira kau masih ingat satu malam di depan rumahmu. Malam yang memastikan bahwa hari telah berlalu dan kita hanya bisa saling memandang dan merasakan bagaimana angin berhembus dengan dinginnya. Dan merasa bahwa betapa waktu begitu singkat, bagaimana waktu terasa tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah cukup bagi keinginan yang tidak akan pernah terpenuhi. Mungkin pula kita hanya harus merasa semua ini sudah cukup, dan bersyukur karena sempat merasakan saat-saat yang indah.


Tapi sudahlah, kita kenang saja waktu dengan sebaik-baiknya, mungkin saja tidak akan lama barangkali waktu pula yang akan menghapus ingatan-ingatan tentang kebahagiaan yang sempat kita rasakan. Bukankah kita sudah cukup bahagia. Apa lagi yang bisa aku harapkan darimu, ketika kau sendiri meminta untuk tidak lagi berharap. Permintaanmu sungguh berat.


Kenanglah aku sebaik-baiknya, walau yang kutinggalkan tidak selalu kenangan baik.


Tiap kali aku melihat begitu banyak manusia, aku berharap barangkali aku akan bertemu denganmu di antara mereka, walau sebernarnya aku tahu kau berada di kota yang berbeda. Tapi seperti itulah harapan itu datang. Membuat semangat menyala meski untuk sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah jadi nyata.


Aku masih saja berharap, sebab seperti katamu pula; harapan itu tidak boleh mati. Kita hidup dengan sebuah harapan. Maka harapanku adalah suatu saat nanti kita masih akan bertemu, walau sebentar, walau untuk yang terakhir. Mungkin itu akan menjadi akhir yang paling membahagiakan...


... atau yang paling menyakitkan.


Aku masih di sini saja, menulis sesuatu untukmu, di salah satu kotak besi yang di dalamnya aku kau kunci. Dari malam ke malam kutulis surat kepadamu, sekedar untuk mengingatkanmu ingatan itu masih ada, masih menggerakkan serat-serat halus perasan kita, sekedar untuk membuktikan bahwa kita belum menjadi pelupa.


Kata mereka akan tiba waktunya kita harus menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Membiarkan perasaan kita menggelepar seperti ikan, dan mencoba hidup bersama kenyataan. Biarlah aku kejam pada diriku sendiri asal tidak padamu.


Kenanglah aku, kenanglah dengan sebaik-baiknya, sebahagia-bahagianya.


Adonis


2 komentar:

  1. kamu melankoli ternyataaaa, aku kirain tegar dan hampir tak punya perasaan. haiahaha, ya maap.
    (kan diundang baca, komen dong buat bukti. *digetok)
    -ika

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ika, aku tidak setegar itu. Ah, sepertinya aku telah gagal menyembunyikan luka. Dan sekarang, inilah aku. Kita tetap temenan, kan? Kaaaan?

      Terimakasih sudah datang.

      Hapus