12 Februari 2016

Menunggumu, Maria

Apa kabarmu Maria?

Doaku selalu menyebutkan tentang kebahagiaan-kebahagiaan untukmu dimanapun kini engkau sedang membaca surat ini, atau kuharap kau akan membaca surat ini. Mendoakan adalah cara terbaik yang kubisa untuk merindukanmu dengan sebaik-baiknya. Tak lupa pula kudoakan kau terus agar dijauhkan dari sakit dan juga marabahaya yang bisa saja mengancam keselamatanmu Maria. Walau tidak pernah sekalipun kudengar lagi kabarmu setelah tiga tahun lamanya sejak terakhir kuantarkan kau ke stasiun kereta api untuk keberangkatanmu menuju negeri bagi mereka-mereka yang memiliki mata bercahaya biru layaknya batu mulia.

Sepeninggalmu kota kita masih sama saja Maria, tidak banyak yang berubah, sama sekali tidak berubah. Aku masih saja bisa mendapatimu melintas di persimpangan jalan yang setiap hari kau lewati sepulangmu dari pasar, walau tiap kali kau kukejar, yang kukejar hanyalah masalalu. Maria, orang-orang bilang aku gila karnamu. Jika memang demikian maka biarlah aku gila, setidaknya aku tidak hidup dalam kewarasan yang di dalamnya tidak pernah ada kau. Bisa kau bayangkan bagaimana gilanya itu Maria? Sebuah kehidupan yang waras yang di dalamnya tidak pernah ada kau. Betapa membosankannya kehidupan itu.

Apalah pentingnya gila atau waras di hadapan cinta. Bukankah cinta itu adalah waras dan gila disaat yang bersamaan.


Maria, kota kita tidak banyak berubah, anak kecil dengan topi kebesaran yang selalu berdiri di trotoar dan menunjukkan raut wajah yang berbahagia, terus berteriak dengan nada yang bersemangat “churros” “churros” menjajakan dagangannya. Anak kecil itu masih berdiri di tempat yang sama ia berdiri tiga tahun yang lalu. Kemarin aku membeli churro anak kecil itu, dan lagi-lagi Maria, kota kita tidak berubah sama sekali, aku melihatmu juga di sana di balik kerumunan manusia-manusia keji yang hanya mementingkan diri sendiri dan menjunjung tinggi gengsi lalu lalang kesana kemari, terlihat samar kau sedang melihat ke arahku. Dan kau mendadak hilang pada langkah kakiku yang pertama untuk mendekatimu.
Apa aku memang sudah gila kau buat Maria?

Maka biarlah aku tergila-gila padamu, seperti selama ini. Maka sembuhkanlah kegilaanku Maria, jadilah hal terwaras di dalam duniaku yang teramat gila. Maka kita akan sempurna.

Kau tahu kenapa mereka berinama kota kita San Angel, Maria?
Jangan tanya aku, sebab aku tidak tahu menahu soal siapa dan kenapa kota kita diberi nama San Angel. Kukira kau yang lebih tahu, sebab yang kutahu kau adalah salah satu dari malaikat-malaikat itu.

Aku menunggu kepulanganmu, aku selalu menunggu. Setiap hari, tiap malam ke malam, harapanku selalu sama. Pulanglah, begitu banyak yang ingin aku tunjukkan padamu. Ada beratus kisah yang ingin aku ceritakan untuk dongeng pengantar tidurmu. Gitar yang kau berikan padaku Maria, tidak henti-hentinya kumainkan ketika malam semakin diam, barangkali angin akan kasihan melihatku yang merindumu segila itu dan berbaik hati membawakan suara petikan gitarku hingga ke telingamu, meski kau sedang tertidur sekalipun. Andai saja menjadi mimpi indah buatmu.


Tiap senja pula aku selalu duduk di stasiun yang sama ketika aku mengantar kepergianmu tiga tahun lalu, menunggumu, berharap melihatmu di antara manusia-manusia yang berdesakan turun dari kereta api yang baru saja tiba, saling dorong, tidak sabaran, yang selalu merasa waktunya selalu lebih penting dari waktu manusia manapun di bumi ini, yang selalu merasa kepentingannya jauh lebih penting dari kepentingan siapapun, bahkan lebih penting dari keselamatan siapapun. Duduk menunggumu bersama mereka-mereka yang menahan sabarnya untuk sebuah temu. Dan aku malah memperhatikan seseorang yang tidak kukenal yang sangat berbahagia ketika perginya telah pulang, ketika kekasihnya yang menangis haru di dalam dekap lengannya yang sudah sangat lama menunggu datangnya hari itu, menunggu untuk sebuah peluk. Aku turut berbahagia melihat mereka, melihat rindu-rindu yang akhirnya merdeka.

Maria Posada cintaku,

Ingatlah ini tiap kali kau melihat senja Maria, ada seseorang di belahan bumi lain sedang duduk memperhatikan kereta api yang tiba dan manusia-manusia yang dibawanya, berharap kau ada di antara mereka.


-  Manolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar