Aku sedang duduk bermalas-malasan di teras
samping rumah, duduk di lantai menyender ke dinding, ditemani dengan segelas
besar jus mangga buatanku sendiri yang baru saja selesai kublender, mangga yang
kudapat dari si pemilik rindu sebenarnya, kemarin saat kami membunuh jarak
memotong jauh untuk temu sesaat, dia berikan padaku, oleh-oleh katanya. Kutambahkan
beberapa pecahan es ke dalam gelas berwana kehitaman yang terbuat dari bahan seng
itu juga agar dingin dan menyejukan. Siang ini memang cukup panas, walau
sedaritadi matahari tidak pernah terlihat karena tertutup awan, tapi angin yang
berhembus seperti membawa serta nafas matahari. Semenjak mendekati bulan puasa,
cuaca memang menjadi lebih panas dari biasanya.
Tidak tahu ada suara apa yang memanggilku
untuk bersantai duduk di teras siang ini, tapi pertama kalinya kulakukan, aku
merasa sepertinya ada keasikan yang entah, menatap langit, langit yang sama
dengan langitmu, berharap kau sedang memperhatikan awan juga disela
kesibukanmu, Rahmi. Lalu mengenang kebahagiaan kita adalah kegiatan yang sedang
sering-seringnya kulakukan.
Lamunan tentangmu tersadar seketika, Rahmi,
saat mataku menangkap dua burung kecil entah apa namanya, sedang bermain di
atas pohon kantil, melompat dari tangkai yang satu ke tangkai lainnya,
berkicau, seperti mereka sedang sangat berbahagia. Tebakanku, mereka itu
sepasang kekasih, Rahmi. Yang suaranya lebih nyaring dan berbadan lebih besar pasti
jantan, dan gerakannya
juga lebih lincah. Aku terfokus memperhatikan mereka kini, ada kesenangan yang lain yang belum pernah kudapat dari memperhatikan burung-burung, sebab kali ini berbeda, kali ini sepasang kekasih burung.
juga lebih lincah. Aku terfokus memperhatikan mereka kini, ada kesenangan yang lain yang belum pernah kudapat dari memperhatikan burung-burung, sebab kali ini berbeda, kali ini sepasang kekasih burung.
Ah, dimabuk asmara memang membuat dimabuk
kepayang.
Burung yang betina terbang ke atap rumahku,
Rahmi, lalu dengan sigap yang jantan mengejar tak mau kehilangan, tidak rela
berpisah dengan kekasihnya walau sedetik, memang begitu cinta, fikirku. Aku
tersenyum. Lalu entah merasa risih sebab kuperhatikan daritadi, burung yang
betina berkicau mengajak yang jantan pergi, mencari tempat yang lebih privasi.
Tanpa aba-aba mereka terbang bersama, hilang dari pandanganku, Rahmi.
Di halaman depan rumah memang tumbuh beberapa
pohon Kantil, Rahmi, punya tetangga, bunga-bunganya untuk dijual ke pasar, katanya.
Pagi hari saat pemilik tumbuhan itu akan memetik, bunganya akan mengeluarkan
wangi yang sangat, menyebar keseluruh tempat yang bisa dilalui udara, dihembus
angin membawa harum sampai ke indra penciuman. Kau tahu, Rahmi? Wangi kantil
itu menenangkan. Kupetik satu untukmu nanti.
Jus mangga di tanganku tinggal setengah
gelas, tapi perutku sudah penuh, lemas. Kubawa masuk sisanya, kuminum nanti
saja saat malam tiba.
Saat masuk ke dalam rumah, aku ikut masuk
dalam percakapan Ibu dan Kakak, Ibu bilang sore nanti kami akan mengunjungi
Ayah, kami semua maksudnya. Sebab sudah beberapa puluh tahun Ayah tidak ikut
tinggal bersama lagi, dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kami
juga akan mengunjungi Ayah. Tentu aku mau, ada banyak hal yang ingin
kuceritakan padanya. Juga tentangmu, Rahmi.
Biarpun Ayah kini tidak tinggal bersama kami
lagi, tapi Ayah juga tidak jauh dari rumah, kapan saja kami bisa
mengunjunginya, hanya berjarak lima menit saja, tapi sekali setahun untuk kami
semua bisa berkunjung bersama. Berkumpul lagi.
Ayah adalah pria yang spesial, makanya ia diberikan
tempat khusus lebih cepat.
Ibu menghentikan langkah tepat di depan
pintu, dan memilih memutar tujuan langkahnya untuk sejenak berkunjung ke
pedagang bunga yang ada di sekitaran sebelum berkunjung ke tempat Ayah. Tentu
Ibu akan membawa bunga saat akan bertemu dengan Ayah, kekasihnya. Sama halnya
dengan pasangan kekasih lain, yang menikah ataupun yang baru berpacaran.
Membahagiakan pasangan adalah kebahagiaan bagi Ibu. Aku ikut berhenti,
memperhatikan dua Abangku yang sudah masuk lebih dulu, dan di arah sebaliknya
menunggu Ibu juga Kakak dan tiga keponakan sedang asik tertawa merasa senang
bahkan hanya dengan melihat pedagang bunga. Bagaimana dengan Ayah yang akan
diberikan bunga oleh Ibu, tentu Ayah akan senang. Aku pun turut senang.
Kusambut Ibu yang sedang mengarah padaku, meletakkan tangannya di pinggangku,
mengisyaratkan agar aku ikut masuk bersamanya. Aku malu tangan Ibu ada di
pinggangku, sebab aku sudah merasa terlalu besar untuk diperlakukan begitu
olehnya. Tapi aku tahu, aku selalu bahagia bila dimanja, maka kubiarkan tangan itu
tetap disana, malah kudekatkan badanku pada Ibu. Lebih kuat dirangkulnya. Kami
melangkah bersama, aku samakan langkah agar seirama, kulihat Ibu tersenyum, aku
tertawa.
Kulihat kedua Abangku sedang
sibuk membersihkan tempat Ayah, dari ranting dan dedaunan kering, dari apa saja yang mengganggu dan membuat tempat Ayah terlihat kotor. Kami ikut bergabung, Ibu langsung mengambil tempat. Aku tahu, dalam hatinya Ibu sedang berbicara pada Ayah, mengungkapkan betapa banyak rindunya, begitu banyak bahkan lebih banyak dari batu kerikil yang ada di dalam sepanjang sungai tepat di sekitaran tempat Ayah. Atau lebih banyak dari jumlah dedaunan dari tiap pohon yang bergoyang dihembus angin di sekeliling tempat Ayah. Aku tahu, begitu banyaknya, aku tahu dari mata Ibu yang mulai berkaca tidak bisa menahan rindu.
sibuk membersihkan tempat Ayah, dari ranting dan dedaunan kering, dari apa saja yang mengganggu dan membuat tempat Ayah terlihat kotor. Kami ikut bergabung, Ibu langsung mengambil tempat. Aku tahu, dalam hatinya Ibu sedang berbicara pada Ayah, mengungkapkan betapa banyak rindunya, begitu banyak bahkan lebih banyak dari batu kerikil yang ada di dalam sepanjang sungai tepat di sekitaran tempat Ayah. Atau lebih banyak dari jumlah dedaunan dari tiap pohon yang bergoyang dihembus angin di sekeliling tempat Ayah. Aku tahu, begitu banyaknya, aku tahu dari mata Ibu yang mulai berkaca tidak bisa menahan rindu.
Aku tahu bagaimana rasanya rindu itu, Rahmi.
Walau tidak sama, tapi aku tahu.
Dengan terisak, Ibu mulai membacakan doa-doa,
air matanya terus jatuh tak dipedulikan lagi, Rahmi, ia biarkan, semata agar
kami tahu bagaimana rasanya bagi Ibu. Ada haru yang ikut pecah pada kami semua
bersamaan dengan doa-doa yang dipanjatkan, ikut pula hujan yang semakin deras
turun dari mata Ibu, menciptakan sungai kecil yang mengalir di pipinya. Katanya,
Ibu mendadak sangat merindukan Ayah saat melihatku, Rahmi. Apa karena aku mirip
Ayah? Seperti katamu.
Selesai menghadiahkan doa-doa, aku ceritakan
kau pada Ayah, Rahmiku. Tempat asalmu, nama lengkapmu, juga bagaimana caraku
merindukanmu, Rinduku. Aku senang telah menceritakan kau padanya, semoga Ayah
pun senang, kau pun senang, Rahmi.
Tahu tidak, Rahmi? Saat akan memberikan bunga
yang Ibu beli tadi, aku yang diberikan kesempatan pertama. Entah kenapa, Ibu
bilang aku yang pertama. Dasar perempuan, susah sekali dimengerti.
Ada lega yang dirasakan Ibu, aku tahu,
setelah berpamitan dan meninggalkan Ayah, Ibu menggenggam tanganku, hujan itu
mereda, ada pelangi yang muncul setelahnya. Ku genggam lagi tangan Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar