13 Februari 2016

Ingatkan Aku Pada Priamu

Tatiana,

             Seperti kataku, kau adalah inspirasiku. Jadi jangan halangi aku atau ide-ide yang keluar dari kepalaku jika semua itu adalah kau. Sebaiknya ingatkan pria yang ada di sampingmu, entah siapa pun dia, ingatkan aku padanya.

             Pria yang akan sering menelan bulat senyum manismu, memakan habis semua tawa gurih dan menikmati matamu yang indah. Mungkin ia akan sering cemburu kubuat.
Ingatkan dia siapa aku. Ingatkan dia bagaimana aku mencintaimu. Ingatkan dia untuk jadi lebih baik dari aku. Ingatkan dia  kau pernah sangat mencintaiku. Ingatkan dia, rinduku masih untukmu.

              Ingatkan pria itu, rinduku adalah langit, kemanapun kau pergi yang kau rasakan adalah aku. Kemanapun kau pergi, kau berada di bawah rinduku. Kita tidak perlu lagi memiliki kita, kita hanya perlu saling mengingat. Kau tahu kan Tatiana, rindu adalah mengingat.
Ingatkan dia, aku tidak perlu hadiah-hadiah mewah untuk mendapatkan senyummu yang merah. Ingatkan dia, aku satu-satunya yang menyukai lipstikmu yang menyala, ketika orang lain hanya mencela.

             Ingatkan dia, aku memiliki beribu-ribu fotomu. Dan ingatkan dia untuk sabar beribu-ribu kali memotretmu. Ingatkan dia bagaimana caraku menghargai. Ingatkan dia bagaimana aku membuat senyum lahir di bibirmu tiap malam sebelum tidur.
Ingatkan dia Tatiana, bagaimana aku sangat menyesal tidak bisa mempertahankan dan terus memperjuangkanmu, sehingga dia harus berfikir berjuta-juta kali ketika akan melakukan kesalahan yang sama.

Dari aku,

Kesalahan terbaik yang pernah terjadi padamu.

12 Februari 2016

Menunggumu, Maria

Apa kabarmu Maria?

Doaku selalu menyebutkan tentang kebahagiaan-kebahagiaan untukmu dimanapun kini engkau sedang membaca surat ini, atau kuharap kau akan membaca surat ini. Mendoakan adalah cara terbaik yang kubisa untuk merindukanmu dengan sebaik-baiknya. Tak lupa pula kudoakan kau terus agar dijauhkan dari sakit dan juga marabahaya yang bisa saja mengancam keselamatanmu Maria. Walau tidak pernah sekalipun kudengar lagi kabarmu setelah tiga tahun lamanya sejak terakhir kuantarkan kau ke stasiun kereta api untuk keberangkatanmu menuju negeri bagi mereka-mereka yang memiliki mata bercahaya biru layaknya batu mulia.

Sepeninggalmu kota kita masih sama saja Maria, tidak banyak yang berubah, sama sekali tidak berubah. Aku masih saja bisa mendapatimu melintas di persimpangan jalan yang setiap hari kau lewati sepulangmu dari pasar, walau tiap kali kau kukejar, yang kukejar hanyalah masalalu. Maria, orang-orang bilang aku gila karnamu. Jika memang demikian maka biarlah aku gila, setidaknya aku tidak hidup dalam kewarasan yang di dalamnya tidak pernah ada kau. Bisa kau bayangkan bagaimana gilanya itu Maria? Sebuah kehidupan yang waras yang di dalamnya tidak pernah ada kau. Betapa membosankannya kehidupan itu.

Apalah pentingnya gila atau waras di hadapan cinta. Bukankah cinta itu adalah waras dan gila disaat yang bersamaan.


Maria, kota kita tidak banyak berubah, anak kecil dengan topi kebesaran yang selalu berdiri di trotoar dan menunjukkan raut wajah yang berbahagia, terus berteriak dengan nada yang bersemangat “churros” “churros” menjajakan dagangannya. Anak kecil itu masih berdiri di tempat yang sama ia berdiri tiga tahun yang lalu. Kemarin aku membeli churro anak kecil itu, dan lagi-lagi Maria, kota kita tidak berubah sama sekali, aku melihatmu juga di sana di balik kerumunan manusia-manusia keji yang hanya mementingkan diri sendiri dan menjunjung tinggi gengsi lalu lalang kesana kemari, terlihat samar kau sedang melihat ke arahku. Dan kau mendadak hilang pada langkah kakiku yang pertama untuk mendekatimu.
Apa aku memang sudah gila kau buat Maria?

Maka biarlah aku tergila-gila padamu, seperti selama ini. Maka sembuhkanlah kegilaanku Maria, jadilah hal terwaras di dalam duniaku yang teramat gila. Maka kita akan sempurna.

Kau tahu kenapa mereka berinama kota kita San Angel, Maria?
Jangan tanya aku, sebab aku tidak tahu menahu soal siapa dan kenapa kota kita diberi nama San Angel. Kukira kau yang lebih tahu, sebab yang kutahu kau adalah salah satu dari malaikat-malaikat itu.

Aku menunggu kepulanganmu, aku selalu menunggu. Setiap hari, tiap malam ke malam, harapanku selalu sama. Pulanglah, begitu banyak yang ingin aku tunjukkan padamu. Ada beratus kisah yang ingin aku ceritakan untuk dongeng pengantar tidurmu. Gitar yang kau berikan padaku Maria, tidak henti-hentinya kumainkan ketika malam semakin diam, barangkali angin akan kasihan melihatku yang merindumu segila itu dan berbaik hati membawakan suara petikan gitarku hingga ke telingamu, meski kau sedang tertidur sekalipun. Andai saja menjadi mimpi indah buatmu.


Tiap senja pula aku selalu duduk di stasiun yang sama ketika aku mengantar kepergianmu tiga tahun lalu, menunggumu, berharap melihatmu di antara manusia-manusia yang berdesakan turun dari kereta api yang baru saja tiba, saling dorong, tidak sabaran, yang selalu merasa waktunya selalu lebih penting dari waktu manusia manapun di bumi ini, yang selalu merasa kepentingannya jauh lebih penting dari kepentingan siapapun, bahkan lebih penting dari keselamatan siapapun. Duduk menunggumu bersama mereka-mereka yang menahan sabarnya untuk sebuah temu. Dan aku malah memperhatikan seseorang yang tidak kukenal yang sangat berbahagia ketika perginya telah pulang, ketika kekasihnya yang menangis haru di dalam dekap lengannya yang sudah sangat lama menunggu datangnya hari itu, menunggu untuk sebuah peluk. Aku turut berbahagia melihat mereka, melihat rindu-rindu yang akhirnya merdeka.

Maria Posada cintaku,

Ingatlah ini tiap kali kau melihat senja Maria, ada seseorang di belahan bumi lain sedang duduk memperhatikan kereta api yang tiba dan manusia-manusia yang dibawanya, berharap kau ada di antara mereka.


-  Manolo

11 Februari 2016

La Muerte

Ingatanku tentangmu bagai sungai yang berarus deras namun berbatu, mengalir dan bergelombang tidak teratur, saling menghantam melahirkan percikan-percikan di udara. Sesekali percikan itu menciptakan pelangi-pelangi kecil, hanya saja tak lama kemudian menghilang. Seperti sebuah perasaan yang terus berubah mengikuti emosi, emosi yang tidak terkontrol kadang rindu namun disaat bersamaan juga kesal dan marah. Lalu kemudian menghilang begitu saja seperti tidak pernah ada perasaan apapun.

La Muerte,

Aku masih ingat bagaimana rupamu dari pertemuan terakhir kita yang mungkin sudah beratus-ratus hari yang lalu. Kau dengan topi besar ala Meksiko-mu yang penuh dengan lilin menyala di sekelilingnya, membuatmu sangat bercahaya bagai dewa yang turun dari langit hendak menyelamatkan manusia dari kehancuran. Hal paling aku suka adalah dua mawar kuning yang menyelinap di kedua telingamu, juga tujuh mawar kuning menempel melengkung di gaun merahmu dengan leher terbuka hingga sebagian buah dadamu terlihat menonjol keluar. Buah dadamu yang setengah lingkaran sempurna, manis sekali.

Hidungmu yang berbentuk as sekop terlihat hitam dan mematikan, indah di wajahmu yang cantik namun menyeramkan. Seperti seorang wanita penyuka malam, aku sering tersesat di dalam gelapnya fikiranmu. Malam itu mengerikan, tidak banyak yang bisa kau dengar. Hanya denting jarum jam dinding yang tiap detiknya berteriak menyebut namamu. Malam itu mengerikan, membisikkanmu rayuan, membujukmu untuk mengakhiri sesuatu yang tidak lagi bisa kau lanjutkan.
Matamu menyala merah bagai api, dan tatapanmu selalu berhasil membakar perasaanku hingga menjadikannya abu kemudian menghilang dihembus angin. Sebuah tato berbentuk hati terbalik di tengah keningmu adalah hatiku yang sesuka hatimu kau balik-balik, seperti sebuah mainan bagai tak berarti.

La Muerte,

Hatiku bukan mainan, ya walaupun cinta itu kau anggap sebuah permainan, mungkin buatmu kita berdua hanyalah anak kecil yang selalu ingin main. Tapi hatiku bukan mainan.
Aku pernah mengutuk diriku sendiri, aku tidak akan tersakiti lagi. Tapi jatuh cinta padamu adalah candu. Cinta hanyalah sakit yang memakai topeng kebahagiaan. Adalah luka yang menyenangkan.

Suaramu adalah mercusuar ketika kapalku menghilang di dalam kabut di tengah laut. Aku suka suaramu, aku ingat kata-kata yang kau ucapkan. Seperti katamu; cinta itu awalnya bukan apa-apa, lalu kita mengada-ada, lalu kita berinama. Barangkali memang seperti itu, barangkali kita hanya tidak bisa mengendalikan perasaan. Maka biarlah sekarang kumasukkan seluruh perasaanku dalam penjara yang tidak tahu kapan dan siapa yang akan membebaskannya.

Sampai bertemu beberapa ratus hari lagi, La Muerte.


- Xibalba

6 Februari 2016

Surat Bertinta Emas


Tatiana tercinta,
Surat yang kau kirimkan sudah sampai padaku, lengkap dengan wangi parfum yang dengan sengaja kau semprotkan. Kau tahu aku sangat suka wangi tubuhmu, wangi yang berasal dari parfum itu tentu. Juga seorang pria tua yang datang bersama dengan suratmu, belakangan aku sadar kalau pria tua itu hanyalah tukang pos. Aku sempat bingung mau aku apakan pria tua itu, akhirnya setelah berbincang cukup lama aku suruh pulang saja.

Kau tahu Tatiana apa yang kami perbincangkan?

Sore itu senjaku kehilangan kemilaunya, juga burung-burung yang suka terbang di sana, dan perahu yang biasa lewat dan membentuk siluet di kejauhan. Semua menghilang. Senjaku tidak lagi jingga. Perlahan sinarnya memudar, dan kehilangan kemilaunya. Aku dan pria tua itu sama-sama terkejut melihat senjaku yang tidak lagi merona membakar langit dan kehilangan keemasan.

Surat yang kau kirimkan Tatiana, mengejutkan tiap bulu di tangan, kaki, juga perut dan dadaku. Semua sontak berdiri serentak tanpa kuberi aba-aba. Sedangkan aku masih saja menatap surat yang sama beberapa menit setelah kertas coklat yang membungkus suratmu kubuka, hingga aku percaya itu memang darimu. Aku sempat berharap surat ini hanya salah alamat, atau tukang pos tua itu sudah terlalu tua untuk mengantar surat ke alamat yang benar. Tapi kenyataan menamparku dengan kebenaran, itu memang suratmu dan ditujukan memang untukku.

Suratmu bertinta emas Tatiana,
Sepertinya senjaku sudah kau tuliskan ke dalam suratmu, menjadikannya kata-kata yang begitu indah, menjadi kalimat-kalimat pembuka, menjadikannya nama-nama yang tidak begitu kukenal, menjadikannya doa-doa tentang kebahagiaan yang bukan kita. Menjadikannya sebuah tanggal juga hari yang aku tahu betul hari itu seminggu lagi.

Sepertinya senjaku tidak akan pernah lagi ada Tatiana, kecuali dalam suratmu yang merona memancarkan cahaya keemasan yang membakar seluruh langit dan menyilaukan mataku dengan sinarnya. Kudengar pula kepak sayap burung camar dalam suratmu.


Suratmu bertinta emas Tatiana,

Sepertinya senjaku sudah kau tuliskan menjadi namamu, berdekatan dengan nama seorang pria yang aku tidak tahu siapa, barangkali aku tahu artinya  apa. Dan semua ini mengacaukan duniaku. Bagaimana tidak, senjaku tidak akan lagi terbenam di tempatnya semula.

Ah, sudahlah. Aku tidak tahu lagi harus menulis apa. Aku sedang kacau. Biarkan aku memakan semua perasaanku.



3 Februari 2016

Perempuan Berbaju John Lennon

Perempuan,


Pertemuan adalah semacam hal kebetulan yang tidak disengaja dan terjadi begitu saja. Bagaimana dua orang tidak saling kenal bertemu di persimpangan jalan, hanya saling tatap lalu pergi tanpa sapa atau bertukar nama. Tapi buatku pertemuan lebih dari itu semua, pertemuan merupakan awal dari sebuah cerita yang barangkali sudah ditulis jauh-jauh hari oleh seorang penulis yang kuberinama semesta.


Pertemuan bagai awan yang merubah dirinya menjadi gumpalan air bertumpuk hingga tak tertahan, lalu menjatuhkan diri ke bumi dan berbenturan dengan tanah dan bebatuan. Pertemuan antara awan dan bebatuan itu aku berinama hujan. Jauh sebelum itu hujan sudah lebih dulu melalui proses yang sangat lama untuk kemudian sampai ke tanah dan menciptakan sungai-sungai kecil. Lalu di kemudian hari setelah kuberi nama, setiap manusia akan sangat menyukai kejadian alam ini, dan berlomba-lomba menuliskan sajak untuk hujan.


Andai kau baca surat ini wahai Perempuan,

Dan aku yakin pertemuanku denganmu itu juga sama halnya bagai hujan, tidak ada kebetulan disana. Perempuan berjilbab gaya modern berwarna merah marun dengan kaos putih berlukiskan wajah seseorang yang tidak begitu kukenal namun aku tahu seseorang itu adalah John Lennon, kemudian ditutup dengan flannel coklat dari luar. Disempurnahkan oleh rok merah muda panjang menutup mata kakinya yang dibalut sepatu putih bercorak bunga-bunga di seluruh bagian sepatu yang ia pakai. Kakinya sangat lincah bergerak ke sana- ke mari dengan sepatu motif bunga.


Perempuan barbaju John Lennon yang aku belum tahu siapa namanya, andai pertemuan kita kemarin yang sudah direncanakan oleh semesta bocor dan beritanya sampai pada telingaku, maka surat ini sudah lebih dulu kutulis dan kuberikan langsung padamu. Aku juga sudah pasti telah mempersiapkan keberanian untuk menanyakan namamu walau di depan teman-teman yang selalu saja mengelilingimu bagai induk itik yang selalu bersama anak-anaknya.. Atau andai saja seseorang di belahan dunia lain telah berhasil menciptakan mesin waktu, maka aku akan berlari memutari bumi menemuinya dan memintanya untuk membawaku ke masalalu dan menemuimu di hari kemarin dengan sebuah surat merah muda di tangan kananku, surat beraroma wangi dari parfum yang ku pakai. Agar ketika kau baca surat ini, kau tidak akan henti-hentinya menciumi bau yang sama dengan bau badanku. Maka setelahnya kau akan sangat mengenali bau itu.


Perempuan berbaju John Lennon yang terus saja muncul di kepalaku, kapankah kiranya pertemuan kita selanjutnya akan ditulis oleh semesta. Akankah besok atau lusa. Atau hari itu sebernarnya sudah ditulis jauh-jauh hari sebelum pertemuan kita yang pertama. Andai aku punya orang dalam di kantor ke-semesta-an yang akan membocorkan padaku tentang hari yang kutunggu-tunggu itu. Ah, apa lagi yang bisa dilakukan seseorang yang sedang jatuh cinta kecuali berandai-andai, kan Perempuan?


Perempuan bersepatu bunga-bunga, aku masih ingat bagaimana rok merah mudamu bergoyang-goyang ketika kau sedang berjalan. Warna yang sangat teduh di tatapanku, ingin aku berlama-lama menangkap tiap gerakan dari rok itu kalau saja anak-anak itikmu tidak menghalangi pandanganku. Biarlah aku berandai lagi wahai Perempuan, akan sangat mengasikkan rasanya ketika pertemuan kita selanjutnya tidak akan lagi ada yang mengganggu. Hanya ada kau dan aku. Menikmati sore menunggu senja, menghitung waktu hingga matahari terbenam, dan berharap semuanya tidak akan pernah berakhir. Kemudian mengulangi hal yang sama esok dan seterusnya. Hingga kita bosan. Atau barangkali kita tidak akan pernah bosan dengan kebahagiaan.


Perempuan berjilbab merah marun, bagaimana jika semesta hanya menuliskan kisah kita sampai pertemuan kita kemarin saja. Atau bagaimana jika semesta kehabisan ide dan tidak lagi mood melanjutkan cerita kita. Bagaimana jika semesta sedang patah hati dan iri dengan kisah asmara karakter-karakter dalam tulisannya sehingga tidak ingin ceritanya berakhir bahagia. Bagaimana jika akhir cerita kita adalah kita harus berpisah karena tuntutan kedewasaan dan hal-hal lain di luar kita. Bagaimana jika kita tidak akan pernah bersama selamanya. Bagaimana jika kita hanya akan saling memikirkan tanpa pernah dipertemukan. Ah, aku sangat takut dengan hal-hal yang seharusnya tidak perlu aku fikirkan.

Asmara itu menerka-nerka, Perempuan. Sedang cinta itu katanya buta. Kita hanya akan lelah menebak dan tidak melihat jawaban atas apapun. Seharusnya kita cukup menjalani dengan segala kemungkinan dan kejutan yang ada, bukan malah menerka-nerka bagaimana akhirnya.


Semoga saja kisah yang ditulis semesta indah buat kita.





Seseorang yang kau temui kemarin.

TATIANA



Tatiana tercinta,





Bersama surat ini aku sisipkan rinduku yang teramat sangat padamu, sangat banyak hingga aku sendiri saja capek untuk menghitungnya. Kutuliskan nol koma seratus delapanpuluh dua persen dari rinduku ke tiap huruf di dalam surat ini agar hatiku tidak penuh sesak dengan anak-anak rindumu. Tatianaku sayang, boleh saja kau hitung sisanya, tapi jumlahnya akan lebih banyak dari butir pasir di pantai tempat kau sedang duduk menikmati senja saat ini.


Senja yang keemasan seperti membakar langit, merona jingga di mana-mana. Aku yakin senja yang sedang kau pandangi sangat indah, lengkap dengan angin pantai yang berhembus cukup kencang mengibaskan rambut pirangmu yang panjang sepunggung, sesekali menutupi mata juga wajahmu, dan kau akan sibuk membereskan rambut itu kembali ke posisinya. Juga suara ombak dan kepak burung yang membuat senja itu akan lebih indah lagi. Dalam khayalanku, saat ini kau sedang duduk sangat dekat ke bibir pantai hingga sapuan ombak selalu membasuh pahamu yang mulus. Akan sangat menyenangkan berada di sana saat ini. Tapi aku tidak bisa. Tapi Tatiana, aku yakin mataku akan lebih memilih memandangmu andai saja aku berada di sana tepat duduk di dekatmu, sangat dekat hingga aku bisa merasakan wangi tubuhmu yang basah dan sedikit lengket, ada pasir di sekujur tubuh indahmu.


Tatiana, senja tidak lebih indah darimu.


Saat ini sedang hujan di kotaku, tentu aku mengingatmu ketika menulis surat ini, tapi aku tidak hanya mengingatmu, aku juga mengingat hujan. Bersama surat ini pula aku ingin menceritakan sebuah hujan padamu Tatiana, hujan yang sangat aku ingat melebihi apapun yang tinggal di dalam ingatanku. Bahkan kau, sayang. Hujan ini abadi tinggal dalam ingatan. Hujan itu berbentuk menyerupai seorang perempuan, memiliki tangan juga kaki, aku sering dan sangat suka menggenggam tangannya. Aku suka memakai jarinya untuk mengupil, tapi  sebanyak apapun kucoba hujan pasti menang dan melepaskan tangannya dari tanganku. Lalu ketika aku memperlihatkan wajah kekalahan, dengan tiba-tiba hujan akan menarik lubang hidungku dengan jari-jari kecilnya untuk membuatku tertawa. Hujan selalu punya caranya sendiri untuk membawakan senyum di wajahku. Bahkan ketika aku sedang pura-pura diam hujan akan dengan sengaja mengajakku ke mini market untuk membeli vitamin C lalu menyuruhku memakannya, katanya aku diam pasti karena sedang sariawan.


Mungkin sekarang kau sudah mengerti Tatiana, mengapa aku begitu senang ketika hujan turun, bahkan ketika sedang bersamamu aku lebih memilih menikmati hujan, diam dan merenung ketimbang menikmati bibir merahmu yang tipis dan lebar dengan hidung mancung.


Mungkin kau masih ingat aku pernah bercerita tentang sebuah sore yang sedikit gerimis padamu. Sore yang kehilangan senja sebab hujan di mana-mana, sore yang menelan kilau emas matahari dan mengubahnya menjadi mendung yang sendu. Sore itu Tatiana, sore itu aku bertemu hujan. Sore itu waktu seperti tidak akan pernah menjadi singkat, seakan sore itu  akan selamanya dan tak pernah berakhir. Seperti seseorang yang sedang jatuh cinta tidak mengenal akhir untuk berjuang memerdekakan cintanya. Kau tahu betul rasanya seperti apa Tatiana, kau juga merasakan itu padaku.


Sore itu aku menatapnya dengan perlahan, perlahan agar aku ingat betul setiap jengkal dari hujan, kelak suatu hari aku ingin mengingat hujan dan aku akan mengingatnya dengan sangat baik tanpa melupakan sedikitpun tentang keindahannya. Helm motorku yang sedari tadi sudah kubuka ketika melihatnya terus saja ku pegang, ketika itu aku tidak ingin sesuatu apapun menghalangi pandanganku menikmati hujan. Hujan ini memiliki wajah cantik dengan senyum yang entah apa menyebutnya. Lebih dari manis. Tatiana jangan marah padaku, bahkan kau sendiri pun akan setuju dengan perkataanku ketika melihat hujan ini. Senyumnya lebih dari manis. Aku berani bertaruh kau akan menyukainya. Jika aku menang, aku harap kau tidak membenciku sebab aku lebih merindukan hujan ketimbang kau. Seratus delapanpuluh dua kali lipat dari rinduku padamu.


Tatiana maaf, aku masih saja memikirkan hujan berhari-hari, berminggu-minggu. Aku merasa bisa saja tidak memikirkannya, tapi otakku tidak mau tau apa yang hatiku rasakan, otakku bekerja sendiri untuk terus mengulang fikiran-fikiran tentang hujan dalam kepalaku. Tentu aku menikmati fikiran itu, aku pernah sangat berbahagia bersama hujan, walau aku masih saja merasa waktu tidak pernah cukup bagi kami.


Kau tahu Tatiana? Sore itu hujan juga menangkapku dengan matanya yang sangat indah, bulat besar dengan lekuk menyerupai daun, dan memenjarakan aku dalam-dalam di dalam tatapannya. Sore itu adalah penampilanku yang paling ia suka. Hujan bilang padaku aku sangat ganteng sore itu. Aku masih ingat betul baju yang kupakai, kaos hitam dan kemeja biru dari luar. Andai saja boleh, aku sangat ingin memakai baju itu setiap hari, agar hujan senang, dan aku terlihat ganteng terus menerus. Tapi tidak, hujan selalu protes tiap kali aku memakai baju yang sama. Dasar hujan!

Hujan ini Tatiana, adalah hujan yang paling indah dari seluruh hujan yang pernah kulihat, bukan itu saja, hujan ini lebih indah dari senja yang sedang kau pandangi. Bahkan juga lebih indah darimu, Tatiana.

Hujan ini sangat nyaman, seperti sebuah ciuman di kepalaku ketika aku sedang setengah sadar setengah tertidur yang kemudian membuat tidurku lebih nyanyak dari tidur seorang bayi. Hujan membuatkan aku sebuah pelangi, membahagiakan aku bagai anak kecil yang riang ketika hujan reda. Hujan tau betul tentang aku, ia akan turun ketika aku sedih, bahkan sedih karenamu, Tatiana. Hujanlah yang selalu ada untukku, bukan kau.


Maaf Tatiana.



Kalau saja bisa seseorang hidup di masa lalu dan berharap mengulang kembali apa saja yang ingin diulang tanpa harus memikirkan masa depan, tidak usah khawatir akan tua, sakit atau pun mati. Tidak pernah merasakan sakit, terluka, dan kesepian. Aku adalah orang yang pertama kali tinggal di sana.

Maafkan aku Tatiana, kau tidak perlu membuang-buang waktumu untuk mencintai seseorang yang lebih memilih tinggal di masa lalu ketimbang hidup dengan kenyataan bersama denganmu.


Maafkan, aku lebih mencintai hujan ketimbang kau

Kekasihmu, Pengagum Hujan

2 Februari 2016

Senja Berganti Malam

Tidak ada yang selamanya, Rahmi.


Tidak di dunia ini. Selamanya hanyalah harapan. Walau begitu seseorang tidak akan selamanya berharap. Selalu ada akhir untuk segalanya. Seperti senja yang kau pandangi Rahmi, itu akan berakhir, tenggelam dimakan malam. Jingga itu akan memudar, kemilau keemasan tidak akan terus-terusan menyilaukan. Pun dengan kita, cinta itu tidak selamanya. Kebahagiaan itu, kegembiraan, tawa-tawa, pertengkaran, segalanya.


Bahkan untuk sesuatu yang menyenangkan, untuk hal indah sekalipun tidak akan ada selamanya. Satu-satunya yang selamanya hanyalah kebenaran tentang tidak akan ada selamanya. Tidak di dunia ini.

Lalu apa yang sebenarnya aku kecewakan? Entahlah, mungkin aku hanya merasa belum cukup waktu bersamamu. Mungkin setahun lagi, ah tidak, harapanku terlalu besar. Sehari lagi saja pun akan lebih baik rasanya. Menghabiskan kesenangan terakhir bersamamu lalu membiarkan kekosongan memakan setiap jengkal dari kepalaku yang seluruhnya berisi kau, kita, kau lagi, kenangan kita, dan masih saja kau. Kemudian barangkali aku akan pergi menghadap malam untuk menjadi gelap dan kelam sebab aku tidak lagi senja buatmu.


Rahmiku..


Setelahnya, jika kau tidak sengaja memikirkanku, atau kau terbangun dari tidurmu yang tidak lagi senyenyak dulu, lihatlah keluar jendela. Mungkin saja kau akan melihatku di tengah-tengah malam.



Dari aku, yang berharap menjadi selamanya-mu

1 Februari 2016

Kenanglah Aku Sebaik-Baiknya

Conquista,



Surat ini kutulis di bawah langit sore, bercahayakan warna keemasan yang berlarian di bawah kakiku, di tempat sekarang aku memikirkan dirimu.


Apakah yang sedang kau lakukan, Perempuan? Apakah kau sedang sibuk dengan pelangganmu yang terakhir hari ini? Apakah kau sedang kesal dengan keluhan menjengkelkan dari orang-orang yang datang padamu? Atau apakah kau sedang mengendarai motormu membelah angin menuju pulang yang sudah kau tunggu-tunggu sejak selesai makan siang tadi?


Kutulis surat ini sebaik-baiknya, agar ketika sampai padamu dan kau bacakan kau bisa tahu bagaimana aku menulis surat ini dengan penuh perasaan. Aku tumpahkan sebagian rinduku pada tiap huruf yang kau lihat, dan semoga saja bisa kau rasakan bagaimana huruf-huruf ini sangat ingin memelukmu.


Kulihat warna keemasan di luar mulai memudar, matahari bersiap pulang menuju peluk seseorang di belahan bumi lain meninggalkan aku yang masih saja berfikir tentang dirimu. Menjauh, memudar, seolah-olah kita yang tidak akan pernah selamanya. Seperti senja yang pasti berganti malam. Tapi itu semua barangkali tidak lagi penting bukan?


Seperti katamu; aku terlalu mementingkan soal perasaan, sedangkan asmara hanyalah bagian yang sangat kecil dari semesta dibanding hal lain yang tidak kalah pentingnya. Barangkali begitulah sebuah keegoisan semestinya.


Kukira kau masih ingat satu malam di depan rumahmu. Malam yang memastikan bahwa hari telah berlalu dan kita hanya bisa saling memandang dan merasakan bagaimana angin berhembus dengan dinginnya. Dan merasa bahwa betapa waktu begitu singkat, bagaimana waktu terasa tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah cukup bagi keinginan yang tidak akan pernah terpenuhi. Mungkin pula kita hanya harus merasa semua ini sudah cukup, dan bersyukur karena sempat merasakan saat-saat yang indah.


Tapi sudahlah, kita kenang saja waktu dengan sebaik-baiknya, mungkin saja tidak akan lama barangkali waktu pula yang akan menghapus ingatan-ingatan tentang kebahagiaan yang sempat kita rasakan. Bukankah kita sudah cukup bahagia. Apa lagi yang bisa aku harapkan darimu, ketika kau sendiri meminta untuk tidak lagi berharap. Permintaanmu sungguh berat.


Kenanglah aku sebaik-baiknya, walau yang kutinggalkan tidak selalu kenangan baik.


Tiap kali aku melihat begitu banyak manusia, aku berharap barangkali aku akan bertemu denganmu di antara mereka, walau sebernarnya aku tahu kau berada di kota yang berbeda. Tapi seperti itulah harapan itu datang. Membuat semangat menyala meski untuk sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah jadi nyata.


Aku masih saja berharap, sebab seperti katamu pula; harapan itu tidak boleh mati. Kita hidup dengan sebuah harapan. Maka harapanku adalah suatu saat nanti kita masih akan bertemu, walau sebentar, walau untuk yang terakhir. Mungkin itu akan menjadi akhir yang paling membahagiakan...


... atau yang paling menyakitkan.


Aku masih di sini saja, menulis sesuatu untukmu, di salah satu kotak besi yang di dalamnya aku kau kunci. Dari malam ke malam kutulis surat kepadamu, sekedar untuk mengingatkanmu ingatan itu masih ada, masih menggerakkan serat-serat halus perasan kita, sekedar untuk membuktikan bahwa kita belum menjadi pelupa.


Kata mereka akan tiba waktunya kita harus menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Membiarkan perasaan kita menggelepar seperti ikan, dan mencoba hidup bersama kenyataan. Biarlah aku kejam pada diriku sendiri asal tidak padamu.


Kenanglah aku, kenanglah dengan sebaik-baiknya, sebahagia-bahagianya.


Adonis


Teruntuk Diriku Sendiri

Malam tidak akan selamanya di sana untukmu, kau sudah sangat tahu akan hal itu. Meski demikian kau selalu saja berharap pagi tidak akan datang lagi mengusir temanmu yang hitam dan kelam pergi. Kau sudah terlalu akrab membiarkan dirimu sendiri tenggelam dalam-dalam di antara malam. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri, kau sudah mendapatkan sepimu sendiri. Jangan terlalu menikmati kesakitanmu, kawan.

Kuatkan dirimu..

Bahkan pagi pun tidak akan selamanya, kan? Kau juga tahu itu. Kau terlalu takut pagi akan menyilaukan matamu yang sudah terbiasa melihat dalam gelap. Aku takut kau menjadi tak terselamatkan lagi dari pelukan malam. Sebelum terlambat, kembalilah ke dunia dimana tempatmu berada. Kenangan bukan tempat bagi sesuatu yang nyata dan bernyawa untuk hidup.

Aku baik-baik saja, kau tahu?

Kita bisa melewati ini bersama, walau kita adalah satu. Kau adalah aku. Kau menyayangi aku, dan kau tahu, aku juga. Untuk saat ini dan seterusnya, berbahagialah denganku.


Dari aku, dirimu sendiri.

13 Desember 2015

Hujan Tidak Pernah Benar-Benar Berhenti


Sejak kemarin malam, langit sudah penuh dengan awan merah, menyala terang, menyeramkan. Petir bergantian menyambar, seperti dendam yang sudah lama tertahan, sekaligus tumpah seluruh.

Lelaki itu masih saja menatap ke arah langit, mengangkat kepalanya setinggi yang ia bisa, memperhatikan gerak awan yang terbawa angin malam, perlahan kini sudah berada tepat di atas kepalanya, rumahnya, kotanya. Lehernya mendadak sakit, dengan posisi yang sama dalam waktu yang lumayan lama, otot lehernya pegal dan tegang. Ia lupa bahkan untuk berkedip, begitu serius memperhatikan langit-langit. Lelaki itu duduk, tepat di tempat yang seharusnya setiap malam setiap kali telepon genggam yang sudah lama ia tunggu berbunyi, dan berbunyi sebagai tanda kekasihnya memanggil. Lelaki itu akan segera berlari kegirangan meraih sumber suara yang berbunyi paling menyenangkan bagi telinganya, dengan sekejap menuju tempat duduknya  lagi. Tempat duduk atau bisa disebut sarang bagi nyamuk yang setiap malam juga menugguinya untuk makan malam. Ketika suara perempuan itu mulai menyapa, lelaki itu tidak ingin mendengar suara apapun yang lain. Itu adalah suara yang paling ingin didengarnya diantara semua suara yang bisa ia dengar di manapun di bumi manapun. Bahkan gigitan nyamuk yang sejak tadi sedang bergerombol menikmati darahnya tidak akan ia rasakan. Sebab suara itu adalah segala hal yang paling diinginkannya sejak ia dan kekasihnya mengenal sesuatu yang bernama jarak. Sungguh jarak ini bukan sesuatu yang baik bagi lelaki tersebut, atau lelaki manapun.

Tapi tidak malam ini, bunyi itu tidak akan datang lagi, sudah sejak kemarin ia tidak mendengar bunyi yang menyenangkan itu datang lagi. Lelaki itu hanya akan menikmati malam ini dengan duduk di bawah langit yang sedang merah dan marah. Menuggu hujan turun, mungkin air pertama yang menetes akan jatuh tepat di pipi kanannya. Ia lelah menunggu, hujan tidak juga turun sedangkan lehernya masih saja pegal. Ia memilih menidurkan lelahnya, pegalnya, di leher juga di hati. Matanya masih saja mengarah mengikuti gerak awan, memperhatikan bintang-bintang,  satu demi satu tertutup dan menghilang dimakan mendung. “Tidak banyak bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya”  ia sering mengatakan kalimat itu pada kekasihnya, ketika mereka sedang menikmati langit yang sama dan berdua kedinginan oleh angin malam yang sama. Kalimat yang diambil dari lirik lagu Payung Teduh. Yang ia tahu, ia bukan yang pertama mengatakannya. Yang lelaki itu tahu, sekarang semua tidak akan pernah lagi sama.

Saat itu juga lelaki itu berfikir, mungkin Payung Teduh akan bisa meneduhkannya dari hujan yang akan turun sebentar lagi atau dari awan merah yang sedang murka menyambar kemana-mana. Tapi tidak akan meneduhkan hatinya, tidak akan bisa meneduhkan fikirannya yang lebih mendung dari langit, tidak akan pernah bisa meneduhkan amarahnya yang lebih merah dari awan malam ini.

Tanpa aba-aba awan mulai menumpahkan apa yang tidak bisa lagi ditahan, melepaskan apa yang sejak tadi menjadi beban, berupa air yang lelaki itu sebut hujan. Tentu lelaki itu bangun dari rebahannya yang nyaman dan berlari menghindari hujan, mandi hujan tidak baik bagi kesehatan walaupun mungkin menyenangkan. Lelaki itu meninggalkan langit yang lega tangisannya membahana ke segala penjuru kota, lalu masuk dan menikmatinya berteduh dari dalam rumah.

Tidak lama hujan di luar berhenti, lelaki itu membuka jendela dan mendapati langit yang hitam tanpa awan dan penuh bintang. Itu waktu yang terlalu singkat untuk hujan, itu hujan yang paling cepat yang pernah ia tahu. jendela kembali ia tutup dan membawa serta masuk kebingungannya, lalu duduk dan berfikir.

Lelaki itu terkejut saat tanpa ia sengaja mengangkat kepalanya dan melihat gumpalan awan memerah tepat di atas kepala di bawah atap rumahnya. Bagaimana bisa awan ini ada di dalam rumah? Apa akan terjadi hujan di sini? Apa bunyi menyenangkan itu akan aku dengar lagi? Apa semuanya sedang baik-baik saja? Apa aku baik-baik saja? Otaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang entah siapa yang bisa menjawab. Petir mulai menyambar ke setiap benda yang bisa dijangkau, membakar apa saja, menyambar apa saja tapi tidak lelaki itu. Petir tidak pernah ingin menyambarnya , ia berada tepat di bawah awan penuh petir dan tidak terkena sambaran sama sekali. Keadaan ini semakin membingungkannya, sedang awan semakin memerah saja, hujan akan turun. Lelaki itu berlari keluar dari rumah tanpa membawa apapun namun membawa semua fikiran-fikirannya, segala kecemasannya, kecurigaan, serta seluruh amarahnya. Ia lupa meninggalkan semua itu di dalam bersama awan penuh petir kiranya akan tersambar dan hilang dari dalam kepalanya.

 Ia lihat dari luar, rumahnya sedang hujan di dalam. ini aneh. Ini hujan paling aneh yang pernah ia tahu. apa akan ada hujan aneh lainny malam ini?
Kebingungannya belum juga hilang, hujan mendadak berhenti. Masih saja itu terlalu singkat untuk hujan. Lelaki itu pastikan sekali lagi, memang benar, hujan sudah berhenti. Ia masuk lagi ke dalam rumah, dan tidak ada satu benda pun yang basah, atau hancur terkena petir atau terbakar. Semuanya sama seperti sebelumnya kecuali segalanya yang telah berubah. Semua ini semakin membuat bingung, hujan ini, keadaan ini, kesunyian ini. Haruskah aku yang lebih dulu menghubunginya? Atau aku memintanya membawa kembali bunyi yang paling menyenangkan itu?
Terlalu banyak pertanyaan.


Lelaki itu kembali duduk dan berfikir. Di dalam langit-langit fikirannya segumpalan awan sedang memerah penuh petir menyambar ke segala arah. Sejak tadi semua itu terus terjadi dalam kepalanya. Ia duduk dan membiarkan dirinya basah oleh hujan

29 Oktober 2015

Mengingat dan Mengulang

Pada tengah malam yang diam, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah cekikikan tawa anak-anak sunyi sedang bermain, menertawakan apa saja; dedaunan yang berteriak jatuh, angin dingin yang berbisik berhembus pelan, langkah kecil serangga di balik semak. Apapun, bagi mereka adalah lelucon paling menggelikan.

Pada saat itu pula seorang lelaki sedang mengamati kegelapan, duduk di tempatnya biasa seperti setiap malam sebelumnya, befikir dan mengingat kembali apa yang bisa diingat. Kenangan, kenangan dan kenangan, hanya itu yang bisa diingatnya di tengah malam seperti ini. Sebuah laptop bersuhu cukup panas ada di atas meja di hadapannya, seperti habis dipakai untuk menonton film atau belajar mengetik sepuluh jari. Juga sebuah telepon-genggam menyala dan dompet yang terbuka mengarah pada lelaki itu, dengan sebuah foto berukuran 3x4 berada di dalam. Foto seorang perempuan cantik setengah tersenyum sedang menatap mata kosong si lelaki yang fikirannya ada jauh di ujung kota Sumatera, kota berpantai yang beberapa tahun lalu pernah dikunjungi, berjarak enam jam perjalanan darat dari tempat ia duduk. 


Dalam lamunannya menerobos gelap yang hitam pekat mencari-cari seorang perempuan, perempuan pemilik rindu serta cintanya. Mengacak-acak kota tersebut, mengamuk layaknya induk T-rex dalam film The Lost World: Jurassic Park yang menghancurkan kota mencari anaknya, hilang diambil para penjahat. Menabrak apa saja, mobil yang terparkir di pinggiran jalan, bus yang tidak sengaja melintas atau mobil polisi yang terus mengejar. Tidak akan berhenti sampai ia menemukan apa yang dicari.

Terdengar lagi tawa dari gelap di ujung sana, kali ini lebih keras dari yang pernah ia dengar. Menyadarkan lelaki itu dari lamunan yang sedari tadi sedang sangat ia nikmati, sesekali tersenyum kecil mendegar tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak sunyi yang terus tertawa terbahak melihat si lelaki hanya duduk diam menyendiri melamun di tengah-tengah kesunyian yang meriah penuh kegembiraan. Ia sadar, kali ini dialah bahan leluconan, dialah satu-satunya yang mereka tertawakan.


Matanya menatap foto perempuan itu kini, seakan

29 Juni 2015

Selamat Mengingat dan Mengulang

Untuk dia yang telah menimbun lama sabarnya, aku tidak sabar menyirami taman bunga yang lama kau rawat di lahan kesabaranmu, kelak saat temu kita padu, kita petik bunga yang mekar pada tangkainya, bersama.

Untuk dia yang telah membunuh tiap egonya, aku tahu itu tidak mudah, tapi aku tahu pula kita kuat. Kita lebih kuat dari yang namanya jarak, jauh ataupun rindu yang dindingnya retak-retak

Untuk dia yang selalu mendamaikan, terima kasih kepada setiap pemakluman dan pengertian yang diberikan, pada tiap kata-kata yang menenangkan, setiap nyaman yang diberikan. Jika bukan kau, aku tidak tahu apa akan semenyenangkan ini jadinya.

Selamat Mengingat dan Mengulang

Rahmi,

Tak terasa sebulan sudah sejak hari terakhir kita mengingat dan mengulang kembali sejarah-sejarah tentang kebahagiaan, tentang perjuangan, tentang mempertahankan yang sudah kita mulai beberapa ratus hari yang lalu.

Apakah kau siap, sayang? Sebab ini akan terus berlanjut dan berlanjut lagi. Kita tidak tahu, mungkin sampai hari keseribu atau sepuluh ribu
Apakah kau siap, sayang? Menerima kebahagiaan lagi dan lagi. Dan berbagi kebahagiaan denganku
Apakah kau siap, sayang? Mempertahankan kita dengan sekuat tenaga dari apa-apa yang mencoba membuat kita menyerah
Apakah kau siap, sayang? Mengingat dan mengulanginya lagi.

Jika ditanya, tentu aku siap sayang, aku yang memulai semua ini.

Sekali lagi selamat mengingat dan mengulang, Rahmi..

Kekasihmu